Pengaruh AS Di Balik UU Migas kita

Berikut adalah dokumen USAID (United States Agency for International Development, Lembaga Pemerintah AS) tentang "Penguatan Pengaturan Bidang Energi" di Indonesia yang menunjukkan campur tangan pemerintah AS mengenai sektor energi Indonesia.

Sekitar 90% migas Indonesia "dikelola" oleh perusahaan Multi National Company (MNC) seperti Exxon Mobil, Chevron, Halliburtons, Unocal, yang mayoritas berasal dari AS. Dari "kerjasama tersebut" MNC dari AS mendapat keuntungan yang sangat besar melebihi dari kontrak bisnis yang wajar. Sebagai contoh jika ongkos pompa minyak (tidak termasuk pengilangan dan distribusi ke SPBU) yang wajar hanya sekitar US$ 4/barrel (Rp 231/liter), maka MNC mengeruk keuntungan hingga US$ 50/barrel atau lebih dari 12 kali lipat. Jika dikalikan dengan 365 juta barrel/tahun maka keuntungan lebih MNC tersebut adalah Rp 154,5 trilyun.

Sementara di dokumen CIA tentang Indonesia disebut bahwa sektor listrik di Indonesia masih "regulated". Tarifnya masih "diatur" oleh pemerintah Indonesia, sehingga harganya terjangkau oleh mayoritas rakyat Indonesia yang masih menengah ke bawah. Hal ini jelas tidak menguntungkan bagi para "investor" AS yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Untuk itu harus dideregulasi. "Subsidi" harus dicabut sehingga harganya mengikuti harga pasar atau yang sekarang disebut "Harga Keekonomian".

Untuk itu pemerintah AS lewat USAID mengucurkan jutaan dollar yang dikucurkan kepada kaki tangan mereka agar kebijakan mereka bisa berjalan di Indonesia, yaitu deregulasi, pengurangan subsidi (penaikan harga), dan reformasi bidang energi. Untuk itu USAID jadi "Donatur Utama" agar usaha tersebut berhasil. Untuk tahun 2001 dan 2002 saja mereka menganggarkan masing-masing US$ 4 juta (Rp 37,2 milyar) agar berhasil.
Berikut cuplikan dari dokumen USAID yang berjudul "Energy Sector Governance Strengthened":

By minimizing the role of government as a regulator, reducing subsidies, and promoting private sector involvement, a reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue. USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform, which helps leverage larger multilateral loans.
USAID membantu pemerintah Indonesia agar Parlemen, Ormas/LSM, Media, dan Universitas "dilibatkan" sehingga "Penghapusan Subsidi" dan "Penentuan Harga" tidak menimbulkan "jeritan" masyarakat terlalu besar. Bahkan Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, menyarankan subsidi dicabut secara bertahap setiap bulan sehingga tidak terlalu kelihatan (meski efeknya tetap terasa oleh warga). Bappenas menyarankan harga minyak dinaikkan sebesar 2% setiap bulan selama setahun (24%) sehingga sama dengan harga pasar. Meski mungkin para demonstran tidak mengetahui, tapi ini tetap akan memukul kantong para supir angkutan umum dan nelayan.

the Government of Indonesia, with USAID assistance, ensured that national and local parliaments, civil society organizations, media, and universities were involved in the decision. As a result, there was minimal public outcry. USAID also supported this process by providing policy analysis for energy pricing and subsidy removal.
USAID bekerjasama langsung dengan pejabat Indonesia yang berwenang merevisi draft UU tentang Listrik dan merancang struktur peraturan:

USAID advisors work directly with Government of Indonesia officials responsible for implementing power sector reform, revising draft electricity legislation and redesigning regulatory structures.
Hebat bukan? Betapa baiknya pemerintah AS "membantu" merevisi dan merancang UU energi dan listrik kita….

USAID "membantu" membuat RUU Minyak dan Gas yang dikirim ke DPR bulan Oktober 2000. Seorang ekonom menyatakan bahwa RUU tersebut dibuat oleh pemerintah AS. Komisi DPR tinggal memberi stempel dan tanda tangan saja:

USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000.
Di tahun 2001 USAID mengucurkan US$ 850.000 (Rp 7,8 Milyar) ke LSM-LSM dan Universitas-Universitas untuk kampanye masalah energi seperti "Penghapusan Subsidi Energi":

In FY 2001, USAID plans to provide $850,000 DA to support NGOs and universities in developing programs for raising awareness and supporting involvement of local government and the public of energy sector issues, including removal of energy subsidies
Dengan kucuran dana sebesar itu tak heran jika ada oknum Lembaga Peneliti satu Universitas Negeri terkenal menyatakan jika harga BBM dinaikkan jumlah rakyat miskin akan turun….

USAID bekerjasama dengan ADB dan Bank Dunia dalam "mereformasi" bidang Energi Indonesia. Dengan hutang US$ 20 juta (hanya sekitar Rp 186 milyar), penasehat USAID berperan sebagai manajemen proyek dan perencanaan. ADB dan USAID bekerjasama membuat rancangan UU Migas Indonesia tahun 2000. Melengkapi usaha USAID, Bank Dunia melakukan "Studi Komprehensif" bidang Migas dan kebijakan tarif serta "bantuan" finansial dan restrukturisasi PLN.

Other Donor Programs: USAID works closely with the Asian Development Bank (ADB) and the World Bank on energy-sector reform. USAID assistance is leveraging a $20 million ADB power sector-restructuring loan, with USAID advisors playing project management and planning roles. The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring
Yang harus kita sadari adalah bahwa setiap pinjaman dari IMF, Bank Dunia, ADB (yang merupakan alat AS dalam menguasai ekonomi dunia) mempunyai syarat bahwa negara peminjam harus melaksanakan Agenda Neoliberalisme seperti "Privatisasi", Deregulasi, Pencabutan Subsidi/Kenaikan tarif (mis: pencabutan "Subsidi" BBM agar harga mengikuti harga pasar/harga keekonomian), perdagangan bebas, dan sebagainya (Tabb, William K. "Globalization." Microsoft® Encarta® 2006). Dengan menaruh putra/putri Indonesia yang jadi mantan Direktur dari Bank Dunia dan IMF di kementrian bidang Ekonomi, Institusi Globalisasi tersebut dengan bebas dapat menjalankan program Neoliberalisme di Indonesia.

Penjualan BBM di Indonesia sekitar Rp 418 trilyun per tahun sementara listrik PLN sekitar Rp 200 trilyun per tahun. Total sekitar Rp 618 trilyun (belum termasuk batubara). Itu baru di harga bensin Rp 6.000/liter. Jika mengikuti harga "Pasar" atau "Keekonomian" yang sekitar Rp 10.000/liter nilainya naik jadi Rp 1.018 Trilyun!

Indonesia dengan jumlah penduduk nomor 4 terbesar di dunia jelas merupakan "pasar" yang menarik bagi AS. Setelah menguasai sekitar 90% di sektor hulu Migas, adakah dengan program Privatisasi dan Kenaikan Tarif, AS ingin menguasai sektor Hilir dan juga bidang Listrik? Adakah ini merupakan "Penjajahan Ekonomi" oleh AS terhadap Indonesia?

Belanda yang merupakan sekutu dekat AS bertindak tegas menangkap agen-agen CIA yang berusaha memata-matai Belanda, merekrut kaki tangan AS sehingga kebijakan Belanda tidak dapat dipengaruhi AS.

Bagaimana dengan Indonesia? Lembaga-lembaga AS (baik pemerintah mau pun swasta) dapat dengan bebas memberi dana kepada Individu, Lembaga Pemerintah (Polri, TNI, dsb), dan LSM-LSM Indonesia tanpa proses audit/kontrol dari masyarakat/negara. Adakah Mereka dan LSM-LSM ini akhirnya akan jadi agen asing yang bekerja untuk kepentingan asing ketimbang kepentingan rakyat Indonesia? Dengan proyek NAMRU-2, pejabat militer AS bebas keluar masuk Indonesia tanpa izin khusus.

Mudah-mudahan putra-putri Indonesia mampu melakukan yang terbaik untuk rakyat Indonesia. Bukan untuk kepentingan asing.



BY TI2

Ridwan BAE, Bupati yang Tampil Beda



UNTUK ukuran seorang bupati, Ridwan BAE terhitung nyeleneh. Penampilannya tidak seperti bupati-bupati atau pejabat pada umumnya. Ia jarang terlihat mengenakan pakaian atau uniform yang menunjukkan dirinya seorang pejabat.

Soal pakaiannya yang tidak bergaya pejabat, ia berkilah bahwa seorang pejabat dulu perlu dikawal rakyat dalam perjalanan dinasnya sehingga uniform-nya harus beda, untuk membedakannya dengan yang lainnya.

‘’Tapi, itu dulu, karena belum ada informasi yang terbuka seperti sekarang ini. Sekarang, dengan maraknya media cetak dan elektronik, rakyat dengan mudah mengenali pemimpinnya,’’ tuturnya.

Dengan penampilannya yang tak jauh beda dengan rakyatnya itu, Ridwan merasa lebih dekat dengan rakyatnya, begitupun sebaliknya.

‘’Mereka tidak pernah ragu dengan kita. Meskipun bau ikan, bau lumpur, mereka begitu bebasnya memeluk kita, tak merasa canggung,’’ terang Ridwan.

Lelaki kelahiran Raha, Muna, 1 Desember 1957 yang memimpin daerahnya selama dua periode (2000-2005 dan 2005-2010) ini juga tidak suka mengenakan arloji dan cincin. Alasannya sederhana, terlalu ribet.

‘’Karena kalau mau mandi harus dilepas dulu, dan setelah mandi baru dipakai lagi. Terlalu ribet. Saya suka yang praktis-praktis saja,’’ kilahnya.

Terhadap sesuatu barang yang disukainya, Bupati Muna ini juga tidak berhitung soal harganya. Biar mahal, asal sesuai dengan seleranya, dan tidak banyak orang yang memilikinya, ia akan berusaha membelinya, karena ia ingin berbeda dari yang lain. Meskipun untuk itu ia harus rela diomeli istrinya.

‘’Saya tidak suka memiliki barang yang banyak dimiliki orang lain. Saya ingin berbeda dari yang lain,’’ ucapnya.

Soal mobil mewah merk Volvo, Ridwan menegaskan bahwa mobil tersebut dibelinya karena ia memang sangat menyukainya. Mobil itu bukan untuk pamer, melainkan untuk dinikmatinya.

‘’Sekali lagi, kalaupun saya memiliki mobil yang menurut orang mewah, bukannya saya sombong atau mau pamer, tapi karena saya suka aja dengan mobil itu,’’ tandasnya.

Saat kecil, bahkan sampai sekarang, Ridwan tidak punya cita-cita. Yang dilakukannya hanyalah menggembleng dirinya, melatih diri untuk mempersiapkan dirinya dalam kesiapan apapun. Ia menempa dirinya dengan aktif di berbagai organisasi.

Ia terpilih menjadi Bupati Muna, bahkan sampai dua periode, semata-mata hasil perjuangannya sendiri, buah kerja kerasnya selama ini, plus garis tangan. Bukan karena nama besar orang tua atau tokoh tertentu. Maklum, selain berasal dari kalangan masyarakat biasa, Ridwan pun sejak kecil ikut kakaknya karena orang tuanya sudah meninggal.

‘’Saya tidak punya cita-cita, apalagi cita-cita menjadi bupati. Tapi saya berbuat terus, melatih diri terus apa yang bisa saya lakukan. Dan, ketika ada kesempatan jadi bupati, ada peluang, saya ikut maju, karena saya punya potensi untuk itu,’’ tutur bapak yang dikaruniai lima putra dan satu putri dari perkawinannya dengan Wa Ode Sitti Nurlaila ini.

Motivasinya ikut bertarung menjadi orang nomor satu di Kabupaten Muna, tiada lain adalah mengabdi untuk kepentingan rakyat, untuk mengangkat harkat masyarakat Muna. Berasal dari latar belakang pengusaha, ia yakin banyak inovasinya yang pada akhirnya bisa memberikan kontribusi buat peningkatan kehidupan masyarakat luas.

‘’Jika saya berhasil membawa kepemimpinan yang baik di Kabupaten Muna dan dirasakan baik pula oleh masyarakat luas, maka itu akan menjadi modal awal bagi anak-anak saya ke depan. Itu motivasi saya untuk memimpin Muna pada waktu itu,’’ ungkapnya.

Ridwan yang pernah tercatat sebagai anggota resimen mahasiswa Unhas periode 1978, tidak pernah berpikir bagaimana menjadi sesuatu, misalnya menjadi gubernur. Karena untuk mendapatkan posisi itu, ia harus tega menghabisi semua lawan-lawan politiknya. Hal-hal seperti itulah yang tidak disukainya, karena tidak sesuai dengan sifat pribadinya.

Dalam memimpin, Ridwan lebih menghargai karyawan yang proaktif, berinisiatif dan kreatif, ketimbang yang hormat dan tunduk kepadanya namun tidak becus menyelesaikan pekerjaannya.

‘’Jangan tunduk kepada saya, tapi tunduklah kepada kemampuan kerjamu, kepada tugas. Bagi saya, kalau tugasmu sudah kelar, itulah saatnya kamu tunduk pada saya. Tapi kalau kamu datang dengan sikap menunduk-nunduk, tidak bermanfaat, tidak akan mempengaruhi kebijaksanaan saya mempertahankanmu sebagai kepala dinas,’’ tegasnya.

Memimpin di era reformasi yang dilanda euforia di berbagai aspek, termasuk politik, dirasakan Ridwan tantangannya sangat besar. Kesulitan yang dihadapinya, pertama, adalah perubahan-perubahan peraturan yang dirasakan begitu berat. Kedua, pemahaman masyarakat tentang demokrasi, dan yang ketiga adalah kesulitan masyarakat elit dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat.

Tapi dengan modal kesabaran serta memahami posisinya sebagai pemimpin dan pengayom rakyat, sekalipun dicacimaki ia harus sabar mengaluri perjalanan keinginan mereka. Dengan satu harapan, pada titik tertentu mereka akan sampai pada suatu kejenuhan. Kejenuhan dalam artian bahwa rupanya cara-cara yang mereka lakukan itu tidak seharusnya mereka lakukan.

Menurut Ridwan, kesulitannya hanya dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat saja, karena di era euforia yang meliputi berbagai aspek ini, termasuk euforia politik, sangat menyulitkan. Soalnya, kita berpendapat positif untuk kepentingan rakyat bisa menjadi negatif bagi policy-policy kita, di tengah-tengah masyarakat yang dengan gampangnya dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang berpikiran sempit.

‘’Itu kesulitan yang kita hadapi. Tapi dengan sebuah kesabaran kita jalani, dan alhamdulillah perubahan-perubahan itu sudah mulai nampak,’’ jelasnya.

Jika suatu program diyakininya akan bermanfaat bagi masyarakat, Ridwan tak merasa pusing terhadap mereka yang tidak setuju dengan program tersebut. Ia biarkan mereka yang bersikap berbeda, ia biarkan mereka berpikir.

Hasilnya, sejumlah program yang awalnya mendapat tantangan yang begitu besar, ternyata setelah terwujud justru mereka yang memanfaatkan dengan penuh kebahagiaan dan kebanggaan.

‘’Itulah yang membahagiakan kami. Makanya walaupun mereka tadinya berpendapat berbeda dengan kami, saya tidak pernah marah pada mereka. Waktu yang akan menentukan mana yang benar dan mana yang salah,’’ ucapnya bernada bijak. (Nining)



BY TI2

Berlomba Menghabisi Hutan Tropis

KERUSAKAN hutan di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini Indonesia sedang mengalami kehilangan hutan tropis yang tercepat di dunia. Laju defo-restasi yang sedang terjadi sekarang ini tidak kurang dari 2 juta hektar per tahun, atau dua kali lebih cepat dibandingkan dengan laju defo-restasi pada tahun 1980-an. Sebagai akibatnya, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta hektar menjadi 98 juta hektar. Setengah dari luas tutupan hutan pada saat ini sudah menga-lami degradasi, dan telah ter-fragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, serta oleh berbagai bentuk kegiatan pemba-ngunan, misalnya perkebunan dan hutan tanaman industri. Demikian bunyi siaran pers Forest Watch Indonesia (FWI) yang diterima Warta akhir Pebruari lalu.
Lebih lanjut disebutkan bahwa hutan-hutan tropis dataran rendah Indonesia yang memiliki perse-diaan kayu dan keanekaragaman hayati yang sangat kaya mengalami resiko kehilangan yang paling tinggi. Pada saat ini hutan tropis dataran rendah hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi, dan jika ke-cendrungan seperti saat ini terus berlangsung diprediksikan akan lenyap di Sumatera pada tahun 2005 dan di Kalimantan pada tahun 2010.
Banyak sekali ancaman terhadap hutan Indonesia, mulai dari kegiatan ekstraksi kayu skala besar melalui operasi logging HPH, sampai pembukaan hutan skala kecil oleh para keluarga petani; dari tebang habis untuk membuka lahan bagi pembangunan perkebunan, hutan tanaman industri dan areal transmigrasi, sampai kehancuran akibat kebakaran hutan yang terus berulang. Kegiatan pencurian kayu dalam skala volume yang sangat besar, khususnya sejak era â€Å“refor-masi” dimulai semakin menambah cepat laju deforestasi di Indonesia.
Menurut Togu Manurung, Direktur Forest Watch Indonesia, â€Å“deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepen-tingan politik dan keuntungan pribadi.”
Lebih lanjut Togu Manurung mengatakan bahwa saat ini Indonesia menjadi pusat perhatian dunia, karena kalangan di dalam negeri dan masyarakat internasional begitu gusar menyaksikan peng-rusakan sumber daya alam yang semena-mena di negeri ini. Keajaiban ekonomi Indonesia pada tahun 1980-an dan 1990-an ternyata sebagian terwujud dengan merusak dan menghancurkan lingkungan dan sarat dengan pelanggaran hak dan tradisi masyarakat adat/lokal.
Indonesia sedang berada dalam masa transisi, dari negara yang semula sangat kaya akan hutan menjadi negara yang miskin hutan. Dengan kehilangan hutan ini Indonesia kehilangan kekayaan keane-karagaman hayati, pasokan kayu, pendapatan, dan berbagai jasa lingkungan. Sementara itu, berba-gai bencana alam, termasuk bencana banjir seperti yang sedang terjadi pada saat ini, menjadi semakin sering terjadi di berbagai tempat, mengakibatkan kematian mahluk hidup dan kerugian eko-nomi yang sangat besar.
Dalam 50 tahun terakhir ini, papar FWI, sudah 64 juta hektar hutan yang ditebang dan hilang. Tidak ada alasan secara ekonomi dan etika yang dapat membenarkan pengrusakan lebih lanjut terhadap sumber daya hutan yang masih tersisa. Oleh karena itu, dalam ta-hun-tahun mendatang, jalur perjalanan yang sulit tetapi yang pada akhirnya lebih berkelanjutan perlu ditempuh oleh pemerintah Indonesia, diantaranya dengan cara merehabilitasi hutan dan memanfaatkan lahan yang saat ini terlantar dan menganggur, serta melestarikan hutan-hutan primer yang masih tersisa. (aum)



BY TI2

Gusur Rakyat Demi Paru-paru Dunia

Nasib malang masih memihak warga Rejang Leboh, Bengkulu. Hari itu, seperti biasa, mereka tak punya harapan. Cita-cita. Maklum, sekitar 50.000 jiwa warga tempat itu telah kehilangan haknya untuk ikut mengelola sumberdaya alam setelah pemerintah melakukan tata batas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan hutan lindung di daerahnya. Praktis , sejak itu, mereka tak bisa lagi bebas keluar masuk TNKS untuk mencari nafkah bagi kehidupan sehari-harinya. Sebab, ada larangan buat mereka untuk masuk ke wilayah paru-paru dunia itu. 


Diakui, seperti taman nasional lainnya, wilayah TNKS adalah milik dunia. Kerusakan terhadapnya berarti citra buruk bagi negeri ini, sehingga penjagaan terhadap kelestarian TNKS dari tangan-tangan jahil mutlak dilakukan. Karena itu, tak mengherankan bila pemerintah mengambil tindakan ekstra ketat untuk melindungi tempat yang disebut-sebut sebagi paru-paru dunia itu.
Namun sayang, tindakan pengamanan terhadap beberapa tanaman nasional oleh pemerintah terkadang terlalu berlebihan. Demi alasan konservasi, kelestarian lingkungan, pemerintah rela memaksa rakyat yang sejak dulu tinggal di tempat tersebut untuk pindah tempat. Akibatnya, ribuan manusia yang hidupnya tergantung pada hutan tak menentu lagi nasibnya. 

Hal inilah yang terjadi di TNKS, menurut Fatrolazi, ketua komisi B DPRD Rejang Lebong, seperti dikutip harian bengkulu jaya, mengatakan pematokan tata batas TNKS dan hutan lindung telah memasung hak-hak warga Rejang Lebong yang hidup di sekitar kawasan TNKS. Padahal, ada ribuan warga yang menggantungkan hidupnya dari TNKS dan hutan lindung. 

Sejak itu, lanjut Fatrolazi, akses warga ke kawasan TNKS tertutup sudah. Warga dilarang masuk kawasan TNKS apapun alasannya. Padahal, dulu sebelum kawasan itu dipatok sebagai TNKS, warga dapat bebas masuk hutan untuk mengambil keperluan sehari-hari dari kekayaan alam yang tersimpan di kawasan TNKS. Tapi sekarang, mereka harus berhadapan dengan bedil-bedil aparat militer dan ancaman masuk penjara. Sebab, tinteng-tinteng militer yang berpatroli setiap saat di sekitar kawasan TNKS siap mengejar, menangkap lalu memasukkan mereka ke penjara bila kedapatan masuk kawasan TNKS. Tidak hanya itu tuduhan sebagai perambah hutan harus pula ditangung. 

Lain halnya dengan para pengusaha berkantong tebal. Bagi mereka, apapun ativitas di kawasan TNKS sah-sah saja. Mau jadi pengusaha burung walet atau maling kayu (ilegal) monggo. Sebab, kekuatan hukum tidak akan pernah menyentuhnya. Kalaupun nanti ada yang tertangkap, mereka hanya para krece yang berstatus pekerja. Sedangkan si boss aman-aman saja. Toh, bagi si boss hilangnya pekerja dapat diganti dengan pekerja baru untuk melanjutkan usahanya.
***
Warga Rejang Lebong tidak sendirian, ada banyak rakyat di tempat lain bernasib serupa. Kasus hampir sama juga terjadi di seantero jagat negeri ini. Bahkan kondisinya ada yang sudah mulai gawat. Tak heran jika ada yang bilang ini sih sudah biasa. 

Pencaplokan akses-akses rakyat terhadap sumberdaya alam oleh negara memang sudah bermunculan sejak pemerintah orde baru. Dimulai ketika Orde Baru memilih kebijakan pembangunan dengan pertumbuhan ekonominya sebagai jagoannya. Model pembangunan yang dibangun pada saat itu tak lain adalah hubungan kroni. Siapa yang dekat dengan kekuasaan, merekalah yang berhak menikmati kue pembangunan. 

Begitu pula pengelolaan sumberdaya hutan, hanya dimonopoli oleh para elit kekuasaan. Dari sinilah praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang lebih memihak para pemodal berduit dimulai.
Dirangkulnya para pemodal dalam praktek-praktek pengusaan sumberdaya dengan mengesampingkan kepentingan-kepentingan rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak lain adalah imbas dari kebijakan pembangunan yang menitik beratkan pada industrialisasi terutama yang terjadi pada negara-negara berkembang seperti indonesia. Anehnya, pengelolaan sumberdaya alam yang hanya dimonopoli oleh elit penguasa dan kaum pemodal itu berkedok mengatasnamakan rakyat.
Sementara itu, hukum yang seharusnya memberikan rasa keadilan pun seakan sudah mati. Tak ada perangkat hukum yang mencerminkan pembelaan kepada masyarakat lokal. Yang ada hanyalah keberpihakan pada kaum pemodal. 

Hubungan mesra antara penguasa yang cenderung kapitalis dengan para pemodal berduit sudah menjadi lingkaran setan yang sulit dijamah. Maklum, keduanya punya hubungan simbiosis yang kokoh dan saling melengkapi. Yang satu punya kekuasaan yang satu lagi punya modal. Klop sudah bisnis mereka untuk menguasai seluruh aset rakyat. 

Beberapa kasus menunjukkan mereka bahkan punya hubugan dekat dengan militer. Lewat tangan-tangan militerlah drama perampasan dan penguasaan aset-aset rakyat secara tidak manusiawi berakhir dengan sukses berat. Lewat tangan militer pula raklat dilarang memasuki wilayah yang dikelola negara.
Jargon yang sering mereka pakai biasanya adalah atas nama pembangunan rakyat harus rela berkorban. Entah apa artinya berkorban dalam benak penguasa. Yang jelas perampasan hak-hak rakyat atas nama pembangunan tak memberikan kontribusi apapun bagi rakyat. Malah yang terjadi sebaliknya, rakyat tambah susah. 

Atas nama pembangunan pula, kelestarian lingkungan, demi paru-paru dunia seperti penetapan TNKS, pemerintah kemudian melarang segala bentuk aktifitas di kawasan hutan dan mengusir masyarakat yang sudah bertahun-tahun bermukim disana. Itupun kelihatan dibuat-buat. Sebab, banyak pengalaman yang menunjukan, justru pengelolaan sumberdaya alam oleh rakyat berhasil lebih baik daripada yang dikelola pemerintah. 
****
Taman nasional Kerinci Seblat adalah milik dunia, sebagai paru-paru dunia, memang tidak bisa dibantah. Namun, menurut Fatrolazi, justru karena itulah mempertanyakan apa yang sudah diberikan TNKS untuk kelangsungan hidup rakyat di sekitar TNKS masih perlu diajukan. Sebab, bagaimanapun TNKS harus mampu memberikan sumbangan ekonomi alternatif. Jika tidak, jangan salahkan rakyat yang terpaksa membuka kawasan lindung tersebut. Sebab mereka juga butuh makan, rakyat butuh lahan pertanian sebagai sumber kehidupan mereka. 

Sayang, tidak banyak yang bisa mengerti dengan kondisi seperti ini. Yang terjadi justru sengketa sumberdaya alam antara negara dengan rakyatnya makin tajam saja. Apa yang diramalkan marx, ada benarnya, semakin tergugatnya kepentingan-kepentingan rakyat atas sumber-sumber langka seperti sumberdaya alam, maka semakin besar kekuatan rakyat untuk bergabung melawannya. 

Dan tampaknya, seperti yang terjadi di TNKS, warga Rejang Lebong mulai berani melawan. Belakangan ada keinginan untuk meninjau ulang keputusan tentang tata batas TNKS dan hutan lindung tersebut. Keinginan ini bukan hanya dari warga Rejang Lebong, bahkan suara-suara mengugat mulai mendapat perhatian serius dari para anggota dewan. 

Peninjauan ulang keputusan yang menyengsarakan rakyat itu terasa melegakan. Sebab, di sana, ada ribuan manusia yang butuh makan, sebab ada kebutuhan dunia yang harus diselamatkan. Karena itu pula, kita mesti mulai memikirkan, bagaimana menjaga paru-paru dunia tanpa harus menggusur rakyat.
Anda bisa?

16 Perambah TWA Ditangkap Merambah Sejak 2000

SINDANG DATARAN – Setelah beberapa waktu lalu, 84 orang ditahan karena merambah TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat), kemarin (11/5) kembali 16 orang diamankan polisi karena melakukan perambahan hutan TWA (Taman Wisata Alam) Bukit Kaba. Tepatnya di wilayah Register 4/50 Desa 4 Suku Menanti Kecamatan Sindang Dataran.

Sebenarnya masih ada ratusan perambah lainnya di sana, namun saat disergap Polhut KSDA, Polhut TNKS dan Dishutbun RL yang berkoordinasi dengan Reskrim Polres RL, hanya 16 orang yang berhasil diamankan. Sedangkan ratusan orang sisanya tidak ada di kebun saat disergap.
Kapolres RL, AKBP. Joni Triharto, SH melalui Wakapolres Kompol Iis Kristian, S.IK melalui Kasat Reskrim, AKP. Syarif Hidayat, S.IK membenarkan penangkapan ini. “Kalau soal merambah hutan terlarang itu orang Polhut tahu persis. Hanya saja saat koordinasi Polhut mengatakan jika kawasan yang dijadikan kebun oleh perambah ini adalah wilayah terlarang,” ujar Syarif.
Guna proses penyidikan selanjutnya, 16 warga yang mayoritas berasal dari Bengkulu Selatan dan Kaur ini ditahan di Mapolres RL. Sementara itu, Kasubdin Keamanan dan Penyuluhan Dishutbun RL, Amir Hamzah Idji menyatakan 16 warganya dipastikan melakukan perambahan hutan terlarang. “Untuk diketahui, dari batas wilayah TWA ini kebun mereka berada sekitar 3 kilometer dari batas. Makanya sudah pasti mereka ini melakukan perambahan hutan terlarang,” ujar Amir.
Amir sendiri mengakui jika proses perambahan ini berlangsung sejak tahun 2000. Namun sudah sejak lama Dishutbun yang bekerjasama dengan Polhut melakukan sosialisasi jika kawasan tersebut dilarang. “Tapi tetap saja mereka acuh dengan sosialisasi tersebut.
Memang mereka ini masuk ke hutan itu tidak seizin dari Kades setempat. Karena sudah disosialisasi masih saja melakukan perambahan, hari ini (kemarin, Red) kita lakukan penangkapan dengan berkoordinasi dengan KSDA, TNKS, serta juga Polres,” papar Amir.
Ditanya mengenai ratusan perambah lainnya yang belum berhasil diamankan kemarin, Amir berjanji akan menjemput mereka. Hanya saja, kata Amir, pihak Lembaga Pemasyarakatan harus menyiapkan ruangan yang banyak untuk perambah ini.
Para perambah hutan TWA ini akan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Tepatnya diatur dalam Pasal 50 ayat 3 dengan acaman kurungan penjara maksimal 10 tahun dan denda sebesar Rp 5 miliar.
Perambah Mengaku Tidak Tahu
Sementara itu, dua orang perambah yang ditangkap Evandri (26) dan Tarman (49) mengaku tidak tahu jika kebun itu adalah wilayah terlarang. Dijelaskan Tarman, sebelumnya kebun yang mereka miliki saat ini adalah milik PT. Kepahiang Indah.“PT. Kepahiang Indah berdiri tahun 1986 dan tutup tahun 1998. Setelah PT tutup lahan itu kami kelola untuk pertanian,” jelas Tarman.
Diakuinya, kebun-kebun ini ditanami kopi. Selain itu mereka juga menanam cabai. Saat ini kopi yang mereka tanam sudah mulai panen. Namun belum sempat mereka menikmati hasil kebunnya, jeruji tahanan sudah menunggu mereka.“Sebelum ini tidak ada pemberitahuan. Kalau saja ada pemberitahuan pasti tidak akan terjadi seperti ini. Selama ini kami berkebun disana aman-aman saja. Tapi hari ini (kemarin, Red) tanpa kami tahu sebelumnya, kami dibawa ke kantor polisi,” tambah Tarman.
Ditambahkan Evandri yang mengaku dari Bengkulu Selatan ini, selama ini pihak Polhut sudah lama mengetahui keberadaan mereka. “Dulu kan Polhut sering mengawasi kalau ada orang nebang pohon. Makanya mereka tahu keberadaan kami. Tapi saat itu mereka tidak mengatakan kalau kebun kami itu dilarang,” ungkap Evandri.(pie


Bupati Tidak Tolerir Perambah TNKS


CURUP – Bupati RL, H. Suherman, MM mengatakan, tidak ada toleransi bagi masyarakat yang merambah hutan TNKS (Taman Nasional Kerinci Sebelat). Alasannya, dalam undang-undang sudah dijelaskan, jika hutan TNKS termasuk hutan lindung yang tidak boleh dirambah.“Itu kan hutan lindung. Sudah tahu hutan lindung, tapi masih saja digarap, ya… tanggung sendiri risikonya.
Silakan penegak hukum meneruskan prosesnya,” ujar Bupati Suherman kepada wartawan kemarin (10/4).
Para perambah yang tertangkap kepada RB beberapa hari lalu mengatakan jika mereka tidak tahu bahwa lahan yang digarapnya tersebut adalah hutan TNKS yang dilindungi negara. Menanggapi keterangan warga ini, bupati menyerahkan sepenuhnya kepada penyelidik.
“Kalau mereka mengaku tidak tahu, pasti aparat penegak hukum lebih tahu apakah mereka benar-benar tidak tahu, atau bagaimana,” jelasnya.
Bupati juga mengatakan jika beberapa waktu lalu dia pernah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar hutan TKNS tersebut dialihfungsikan. Maksudnya, jika hutan TNKS itu alihstatus, maka masyarakat sekitar bisa memanfaatkannya.
Namun usaha ini gagal. Pasalnya, pemerintah pusat tidak mengabulkan permintaan bupati ini. “Bukannya kita tidak memikirkan masyarakat, tapi sepertinya sulit sekali untuk merubah statusnya agar masyarakat bisa memanfaatkannya. Jadi bukan saya tidak memikirkan nasib rakyat,” ungkapnya.
Walaupun hutan TNKS ini dilindungi negara, namun sejauh ini pemerintah Rejang Lebong belum memperoleh dana kompensasi. Ditanya mengenai kompensasi ini, bupati hanya menjawab jika dia tidak mau mengatur pemerintah pusat.
Dalam pemberitaan RB beberapa waktu lalu, wilayah hutan TNKS ini berada di Desa Bandung Marga Kecamatan Bermani Ulu. Namun setelah diteliti, wilayah ini masuk ke dalam Kecamatan Bermani Ulu Raya.
Camat Bermani Ulu Drs. Arman Kusnandar yang menyampaikan masalah ini. “Dulunya memang masuk Kecamatan Bermani Ulu. Tapi setelah pemekaran, Desa Bandung Marga itu masuk dalam Kecamatan Bermani Ulu Raya,” ujar Arman.(pie)
BY TI2

Agar Kayu Tak Lari Ke Negeri Orang


Dari mana datangnya kayu yang nongkong di Malaysia?. Departemen perindustian menyebutkan, kayu itu datang dari Indonesia yang memang rajin mengekspor kayu illegal ke negeri itu. Tiap tahunnya bisa mencapai 10 juta m3. Angka ini jauh lebih besar dibanding ekspor kayu legal Indonesia ke tempat lain. Deprindag mencatat, tahun 2001, sampai bulan juli ekspor kayu bulat indonesia mencapai 175,3 ribu m3, yang berarti menurun jauh, sebab, tahun 2000, indonesia bisa mengekspor kayu sebanyak 449,84 ribu m3.
Turunnya nilai ekspor kayu legal dan makin tingginya ekspor kayu illegal mengakibatkan kerugian negara bertambah besar. Karena itu, Senin, 8 Oktober 2001 lalu, Menteri Kehutanan (Menhut), M. Prakoso, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (menperindag), Rini Soewardi, mengeluarkan keputusan bersama untuk memotariumkan ekspor bagi kayu bulat dan bahan baku kayu serpih.
Seperti dikutip SH, pak Menhut mengakui, momaterium ekspor kayu akan memudahkan pemerintah dalam mengidentifikasi setiap kayu yang keluar dari Indonesia. Upaya ini, kata menhut, semata-mata untuk mempermudah kontrol atas illegal loging yang makin marak terjadi. Itu artinya setiap kayu yang lari ke luar negeri dicap sebagai kayunya maling. Kayu selundupan.
Langkah ini, juga diharapkan bisa mendorong agar industri perkayuan dalam negeri lebih kompetitif. Menurut Menperindag, momatorium ekspor kayu akan banyak membantu industri kayu dalam menyediakan bahan bakunya. Menperindag juga berpendapat, restrukturisasi atas 126 perusahaan perkayuaan yang kini menjadi pasien BPPN mutlak diperlukan. Namun, ia memberi catatan, agar itu dilakukan dengan hati-hati, sehingga hanya industri yang benar-benar sehat yang pantas hidup dan berkembang.
Sementara itu, Hariadi Kartodiharjo berpendapat, usaha pemerintah dalam memotoriumkan ekspor kayu, sudah merupakan langkah positip . Cuma, usaha tersebut harus dilakukan dtidak dengan cara parsial, tapi harus komprehensif, sesuai komitmen pemerintah indonesia dengan negara-negara donor yang tergabung dalam CGI yang didalamnya menyangkut antar lain penanganan terhadap illegal logging, restrukturisasi utang pada industri perkayuan nasional, dan pembenahan sistem terkait dengan otonomi daerah.

 

Amandemen terhadap Undang-Undang U.S.Lacey Act: Implikasi Atas Para Eksportir Hasil Hutan Indonesia

KATA PENGANTAR
Sebuah peraturan baru yang menjadi dasar bagi pemerintah A.S dalam menjatuhkan sanksi denda, dan bahkan kurungan penjara, baik terhadap orang maupun perusahaan yang melakukan perdagangan kayu ilegal lintas negara. Pemerintah A.S bahkan dapat menerapkan UU ini, yang disebut Lacey Act, untuk menjatuhkan hukuman yang signifikan terhadap orang dan perusahaan yang mungkin tidak menyadari bahwa kayu mereka pada dasarnya melanggar ketentuan yang ada. Peraturan baru ini, dan berbagai persyaratan baru menyangkut impor, akan dikenakan terhadap para produsen dan eksportir yang mengirim berbagai macam produk yang terbuat dari kayu ke Amerika Serikat, termasuk kertas, perabot, kayu bangunan, bahan penutup lantai, kayu lapis atau bahkan bingkai gambar.
Departemen Kehakiman A.S. telah menegaskan bahwa mereka akan menerapkan Undang-Undang ini untuk menuntut siapapun yang mengimpor kayu yang diambil atau diangkut dengan cara yang melanggar hukum negara asal kayu. Sanksi berdasarkan Undang-undang ini meliputi sanksi administratif, penyitaan atas barang-barang yang diperjualbelikan secara ilegal maupun hukuman penjara. Pelanggaran terhadap Lacey Act juga dapat mengarah pada tuntutan penyelundupan atau pencucian uang. Lacey Act berlaku terhadap setiap produk dan jenis kayu yang diimpor, bahkan terhadap jenis yang tidak termasuk di dalam jenis satwa yang terancam punah yang ada dalam daftar pada Konvensi Internasional mengenai Perdagangan Jenis Hewan atau Tanaman yang Terancam Punah (CITES)


BY TI2

Selamatkan Hutan, Cabut PP No 2 Tahun 2008

hutan.jpg
Salah satu kegiatan penebangan ilegal di hutan Sumbar
Padang–Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar mendesak Presiden untuk segera mencabut PP No. 2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan. PP tersebut jelas bertentangan dengan dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Direktur Eksekutif   Walhi Sumbar Khalid Saifullah kepada wartawan, Selasa (5/3) mengatakan, pihaknya juga mengajak rakyat Indonesia, Sumbar khususnya untuk bersama-sama menyelamatkan hutan lindung yang hanya dinilai oleh pemerintah Rp300 (tiga ratus rupiah) per meter pertahun.
“Keluarnya PP No. 2 tahun 2008 itu benar-benar mengejutkan. Ini semakin menunjukkan bahwa penyelenggara negara ini sedang bingung dalam menjalankan mandat rakyat,” katanya.
Berdasarkan SK No. 422/Kpts-II/1999 Sumatera Barat memiliki hutan Lindung seluas 910.533 ha yang tersebar di 19 kabupaten/kota.  Kondisinya saat ini juga sudah dirusak aktifitas penebangan liar dalam bentuk konversi lahan untuk perkebunan, HPH/IUPHHK dan praktek pembalakan liar oleh pemilik chainsaw.
Dengan keluarnya PP No. 2 tahun 2008 akan semakin memperluas kerusakan hutan lindung terutama di daerah Kabupaten Pasaman Barat, Solok Selatan, Padang dan Pesisir Selatan yang pada saat ini beberapa izin penambangan terbuka sedang tertunda karena berada di kawasan lindung. Untuk Pasaman Barat saja saat ini sedang menunggu 40 perusahaan pertambangan yang tersangkut izinya karena areal KP penambangan yang diusulkan berada di kawasan lindung demikian juga dengan beberapa perusahaan di Solok Selatan dan kabupaten/kota yang lain.

Kondisi hutan Indonesia yang sudah semakin hancur karena ketidak mampuan departemen kehutanan menjalankan tanggung jawab mereka mengelola hutan selama ini. Sehingga laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,7 juta ha pertahun, dengan keluarnya PP No. 2 tahun 2008 ini akan semakin mempercepat laju kerusakan hutan di Indonesia, karena dengan tidak diberikan izinpun pengrusakan dihutan lindungpun sudah terjadi dengan masif.
Keluarnya PP No. 2 tahun 2008 yang memberikan izin untuk dilakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung jelas bertentangan dengan UU No. 41 tahun 1999 pasal 38 ayat (2) Penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dan ayat (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola tambang terbuka. 
Dengan PP No. 2 tahun 2008 ini jelas akan mengakibatkan berubahnya fungsi pokok kawasan hutan lindung dimana dalam UU No. 41 tahun 1999 pasal 1 angka 8 bahwa Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan system penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
“Fungsi Pokok kawasan hutan lindung ini jelas tidak akan bisa diganti dalam bentuk uang apalagi dengan nilai sewa Rp 300.000,00 per hektar per tahun. Karena hilangnya fungsi pokok kawasan hutan lindung ini akan berdampak terhadap masyarakat (banjir, erosi, dan kekeringan) dan hancurnya infrastruktur akibat bencana karena hilangnya fungsi pokok kawasan,” tambahnya.


BY TI2

Jati Kulidawa

Oleh Indarwati Aminuddin

Indarwati Aminuddin bekerja untuk WWF-Indonesia di Kendari, mantan direktur program Yayasan Pantau, pernah bekerja untuk harian Kendari Pos dan Kendari Ekspres. Liputan ini disponsori Unesco Jakarta.

SEBAIKNYA Anda tidak datang ke Muna saat musim hujan. Sering banjir. Got-got di sepanjang jalan diluberi air keruh bercampur macam-macam sampah. Kadang saya melihat beberapa bangkai tikus hanyut. Lumpur memenuhi permukaan jalan yang bolong-bolong di banyak tempat.

Muna adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara, dengan luas wilayah sekira 488 ribu hektar atau setara 4,9 ribu kilometer persegi.

Tak sulit mencapai Muna. Hanya perlu tiga jam perjalanan kapal dari Kendari, ibukota provinsi Sulawesi Tenggara. Pusat kota, yang dikenal sebagai ”Kawasan Ahmad Yani,” berada sekira satu kilometer dari pelabuhan yang berdermaga kecil dan hanya ramai saat kapal berlabuh selama 20 menit.

Keramaian, terutama berasal dari suara pedagang, segera sirna ditelan suara stoom panjang KM Sagori, salah satu kapal yang melayani rute antarkabupaten. Pelabuhan kembali sepi. Kapal akan tiba pagi dan siang esok harinya.

Muna daerah tenang. Penduduknya hanya sekira 298 ribu jiwa, dengan tingkat kemiskinan 50,9 persen. Mereka tersebar di 29 kecamatan. Penduduk terbanyak menempati Kecamatan Katobu.

Warga Muna kebanyakan petani. Tak semua dari mereka punya lahan. Banyak di antaranya hanya jadi petani penggarap. Atau memasuki kawasan hutan gundul, eks lahan tebangan jati. Kayu rimba dan jati adalah salah satu sektor penyumbang pendapatan terbesar Muna.


DI HUTAN Muna, jati tumbuh sempurna di lahan-lahan berkapur. Di sana sekurang-kurangnya tersimpan kayu jati logs sebesar 8,6 ribu meter per kubik pada 2001, dan setahun kemudian meningkat jadi 12,2 ribu, lalu 5,9 ribu pada 2003, dan 21,1 ribu meter per kubik pada 2004.

Balai Penelitian Kehutanan Sulawesi di Makassar menyebutkan kayu jati Muna memiliki empat keunggulan, yang meliputi kekuatan, kerapatan, kekerasan, serta fisik kimia. Pendeknya, kayu jati Muna sebanding dengan pohon-pohon jati yang tumbuh di Cepu, Jawa Tengah.

Perbedaan kayu jati Muna dari jati Cepu hanya segi warna. Jati Muna lebih gelap. Suhendro A Basori dari Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara mengatakan bahwa jati Muna bertekstur serat indah dan batang yang lurus. Pemerintah Muna mengklaim daerahnya sebagai penghasil jati terbaik di Indonesia.

Mahfud dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan pernah membuat laporan yang menerangkan bahwa di Indonesia, jati Jawa-lah yang disebut sebagai “jati asli”.

Status “asli” itu diperoleh setelah penelitian melalui teknik deoksiribonuklead acid (DNA) menggunakan sistem enzim pada 1994. Jati Jawa berasal dari proses adaptasi dengan iklim dan berkembang dari zaman quarternary dan pleistocene di Asia Tenggara. Persebaran jati meliputi sebagian besar India, Myanmar, Laos, Kamboja, bagian barat Thailand, dan Indo China.

Jati juga dikembangkan di Afrika, New Zealand, Australia, Kepulauan Fiji, Taiwan, Kepulauan Pasifik, dan benua Amerika. Di Indonesia, jati tersebar di sebagian pulau Jawa, pulau Kangean, Sumba, Bali dan Muna.

Jati di Muna biasa disebut kulidawa. Artinya, jati yang asalnya dari Jawa. Bisa juga berarti jati yang ditanam oleh kuli-kuli dari Jawa saat Belanda melakukan eksploitasi di Muna. Tapi orang Muna dengan bangga menyebut jati mereka sebagai jati Muna.

Warga Muna bangga pada jatinya. Tapi kebanggaan itu tampaknya sedang diambang masalah. Pemerintah setempat, di bawah kepemimpinan Bupati Ridwan, terus menebang, mengeksploitasinya, dengan dalih untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi kenapa protes dari masyarakat justru makin kencang? Benarkah eksploitasi itu untuk PAD atau kepentingan segelintir pihak?


RIDWAN bupati kesebelas di Muna. Dia tipe pria yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ketika tak suka, Ridwan akan bicara blak-blakan. Dia lahir pada 1957. Pada Juli 2004, Ridwan menjadi bupati untuk kedua kali melalui pemilihan bupati secara langsung di Muna. Dia dari Partai Golongan Karya.

Sebelum terjun ke dunia politik dia menjadi pengusaha jasa konstruksi dengan bendera PT Rapesa. Dalam buku statistik Dinas Kehutanan provinsi Sulawesi Tenggara, perusahaan ini terdaftar sebagai calon pengelola hasil hutan seluas 8.000 hektar di wilayah Lagundi, Bonegunu, kabupaten Muna.

Perusahaan Ridwan ini juga menjadi satu-satunya pemegang izin taksi dan pom bensin yang hanya satu-satunya di Muna. Saat jadi bupati, jabatan direktur PT Rapesa diserahkan ke anggota keluarga dekatnya.

Ridwan suka mengenakan mantel panjang dengan topi. Dalam acara semiformal, Ridwan akan mengenakan jins dan kemeja lengan pendek yang lengannya digulung. Ada hari-hari tertentu dia bisa ditemui di kediamannya, misalkan saat bermain kartu atau bulutangkis.

Ridwan termasuk tipe optimistik. Dia mengatakan telah berhasil membangun Muna dari tidur panjangnya. Di kota kecil itu kini telah berjejer lampu jalan, meski sebagian besar tak berfungsi, dan sarana olahraga yang –menurut La Kusa, juru bicara plus karyawan hubungan masyarakat pemerintah Muna– memakan biaya Rp 55 milyar. Ironisnya, tak banyak atlet yang dibina di sini.

Riwan juga punya keyakinan bahwa pada 2006, semua jalan raya yang rusak berat hari ini –dengan ketebalan aspal tak lebih dari lima centimeter– akan mulus dengan alokasi anggaran mencapai 70 persen. Mungkin karena keyakinan itu, Ridwan, atas persetujuan sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), diperbolehkan membeli jeep hummer senilai Rp 1,9 milyar sebagai kendaraan dinasnya.

Ambisi Ridwan tak hanya sampai itu. Dia juga akan menata pantai di Raha dengan hotel-hotel dan restoran yang melibatkan investor Tomy Winata dari Artha Graha. Pada Fitri Azhari, wartawan Kendari Pos, Ridwan mengatakan telah mendekati Tomy Winata.

Winata akan menjadi pengelola sekaligus pemilik saham. Tugas Ridwan adalah mengggiring Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mencicil tanpa bunga semua biaya yang akan dikeluarkan Winata. “Kita akan bayar selama lima tahun,” kata Ridwan. Sejauh ini, Ridwan baru memanggil konsultan Winata untuk mengetahui perencanaan pembangunan dan nilai investasinya.

Ridwan juga telah membebaskan keharusan membayar bagi warga di tiap Puskesmas dan membangun dermaga-dermaga rakyat di tiap wilayah kepulauan. Target besarnya menjadikan Raha sebagai kota otonomi yang layak dari sisi infrastruktur.

Ada banyak impian Ridwan yang sering mendapat ekspos media. Tapi semua ini tak bisa menghapus isu laten yang melekat dalam dirinya. Dia santer diisukan melakukan korupsi atas hasil hutan, terutama kayu jati.

Detik-detik menjelang pelantikannya sebagai bupati, Ridwan diprotes beberapa aktivis lingkungan SWAMI (Swadaya Masyarakat Indonesia). Mereka Ihlas Muhamad, Yusti, dan Muamar Kadhafi. Para pemrotes berdiri di tugu yang berhiaskan pucuk jati, membawa pamflet yang berisikan kalimat-kalimat seram: “Jangan pilih bupati perusak hutan dan korupsi”, “Awas waspadai bupati cabul”, dan “MOHOn jangan pilih”. Ridwan tersinggung. "Moho" adalah nama kecilnya.

“Satu-satunya kegagalan saya adalah tak bisa mengamankan hutan jati. Tak bisa mencegah kerusakannya,” kata Ridwan.

Kepada Aksah, wartawan Kendari Ekspres, Ridwan pernah mengatakan, meskipun tak bisa mengamankan hutan jati, tapi kerusakan tersebut setara dengan kas yang diterimanya. Ini jauh lebih baik dibanding pendahulu-pendahulunya: merusak hutan tanpa pemasukan kas yang setara.


KETIKA terpilih sebagai anggota DPRD Muna tahun 2004, janji Mahmud Muhamad jelas: menjaga lingkungan.

Mahmud pria dengan tubuh kecil dan tekanan suara yang tegas pada tiap kalimatnya. Dia terpilih dari dua pundi suara Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) tahun 2004. Ketika jadi anggota legislatif di Muna, Mahmud benar-benar berada pada titik impas finansial, kehilangan istri, dan secara ekonomi menyedihkan. Syukurnya, dia mewarisi sekitar 10 hektar lahan yang ditumbuhi jati di Desa Warambe dan Wakumoro dari kakeknya, La Ode Dika.

Kawasan itu dibuka tahun 1940-an waktu Mahmud baru berusia tujuh tahun dan berada dalam asuhan kakeknya. Dia sering melihat kakeknya berpidato dan mendengar kata ni motehi be mokado (mana yang harus ditakuti, mana yang tidak) saat warga berkumpul mendengar me tula-tula (pidato).

Kakek Mahmud suka berpidato di lahan jati. Dia berdiri atau duduk di hadapan banyak pengikutnya. Kata sang kakek, Muna tidak dikaruniai tanah yang gembur untuk tanaman jangka pendek. “Tapi di tanah ini, jati bisa tumbuh dengan sempurna. Batangnya lurus tanpa cacat dengan daun lebar. Getahnya merah.”

La Ode Dika adalah saksi penandatanganan kawasan tutupan hutan tahun 1928 dan 1933. Ketika itu, Belanda-pemerintahan Celebes-van Boeton dan Napabelano (Muna) sepakat untuk menjaga kawasan yang ditumbuhi jati itu. Perjanjian itu awalnya disebut kontrak kesepakatan, namun jarang dijadikan rujukan karena perubahan kebijakan dari pemerintah pusat ke provinsi lalu ke kabupaten terjadi sangat cepat sejak tahun 1960-an.

Tahun 2000-an, perjanjian itu praktis tak digunakan. Arsip berupa peta dan dokumen dalam bahasa Belanda hanya tersimpan di Dinas Kehutanan serta Balai Inventarisasi dan Pemetaan Wilayah Kendari. Terlebih sejak Undang-Undang Otonomi Daerah No 22 tahun 1999 diterapkan. Undang-undang inilah yang sering jadi acuan pengelolaan kewenangan secara penuh dan seringkali tidak melihat efek yang timbul.

Pada 16 November 2005, ketika berlangsung rapat pembacaan nota keuangan Bupati Ridwan, Mahmud kembali mempersoalkan acuan kewenangan tadi sambil mengkritik cara-cara pemerintah daerah Muna dalam meningkatkan PAD melalui hasil hutan. Saat rapat berikutnya per 21 November, yang dihadiri Wakil Bupati La Bunga Bakka, Mahmud memilih walk out dari ruang sidang.

Rapat-rapat berkenaan peningkatan PAD melalui eksploitasi jati sering berlangsung alot karena Ridwan bersikeras meningkatkan PAD dengan cara mengubah dan menaikkan APBD tahun 2005 menjadi Rp 290,3 milyar dari Rp 285,5 milyar. Ridwan optimis angka itu bisa tercapai. Hingga November 2005 saja, dana dari eksploitasi tunggak kayu yang bisa dilihat dari data belanja pengusaha-pengusaha kayu yang berbekal Izin Pengolahan Kayu Tanam Milik (IPKTM) telah mencapai Rp 10 milyar.

Kepada saya, Mahmud bilang persoalannya bukan pada perubahan PAD itu. Yang lebih esensial adalah peningkatan PAD dari hasil hutan itu sama halnya dengan menyedot isi hutan tanpa pertimbangan kelestarian.

Mahmud tahu, pengelolaan itu akan menghabisi hutan jati Muna. Saat ini saja habisnya jati telah mencapai 90 persen di kawasan hutan produksi terbatas, yang luasnya 11.643 hektar dan hutan produksi biasa 39.685 hektar. Kata Mahmud, penebangan terjadi sangat cepat, di tiap kawasan tanpa bisa distop dan tak ada pelaku, termasuk di hutan lindung.

Menurut catatan Sida, kepala seksi perencanaan karya Dinas Kehutanan Muna, registrasi terakhir dilakukan dua tahun lalu dan menunjukkan semua jati yang berasal dari usia tanam 1911-1968 di lahan seluas 16,9 ribu mengalami penyusutan.

Jati reboisasi, yang ditanam 1969-1992-1993, di lahan seluas 5,4 ribu hektar juga sama memprihatinkannya. Menyusul jati di hutan tanaman industri yang ditanam pada tahun 1989-1990-2002. “Ya tinggal sedikit,” katanya.


SEJARAH jati Muna dimulai pada 1913 ketika jati mulai dieksploitasi pemerintah swapraja Muna. Belanda dan kongsi dagangnya menguasai eksploitasi itu. La Ode Dika, kakek Mahmud, pernah menolak keras eksploitasi oleh negara.

Dika sempat dipenjara karena menebang jati di kawasan yang diolahnya, Wakumoro. Dika menebang jati untuk membantu banyak warga yang tak punya lahan, sangat berbeda dari yang dilakukan sebagian pejabat.

Dika meninggal pada 1982-an. Semangat untuk memuliakan jati Muna tak menurun kepada anak-anaknya, termasuk yang jadi pejabat di Muna dan Sulawesi Tenggara. La Ode Rasjid, anak Dika, tak bisa berbuat banyak untuk mengatur eksploitasi jati saat jadi bupati ke-4 di Muna. Dia memang tidak mengeluarkan peraturan apapun yang terkait dengan pengelolaan jati. Namun, dia tak bisa berbuat banyak karena peraturan pengelolaan kayu justru keluar dari pusat atau provinsi.

Anak Dika yang lain, La Ode Kaimoeddin, saat jadi gubernur provinsi Sulawesi Tenggara malahan merestui PT Amboina mengelola tunggak jati di Muna. Tunggak jati adalah bagian bawah kayu jati yang tersisa setelah tebangan. Masalahnya, tidak hanya tunggak yang diambil, seringkali batang tengahnya ikut ditebang.

Kata Mahmud, ketika restu PT Amboina keluar, dia mencoba berbicara dari hati ke hati dengan Kaimoeddin, pamannya dan mengingatkan pesan kakek La Ode Dika untuk tetap menjaga hutan. “Tapi ya begitulah, kami ternyata berbeda pemahaman soal kayu ini,” katanya. Alhasil, eksploitasi tetap jalan.

Sejauh pengamatan Mahmud, kawasan jati telah habis dan kini hanya tersisa tunggak-tunggak kayu jati. Warga harus menunggu 30 tahun lagi untuk menikmati hasil jati. ”Itu pun kalau tidak dicuri secara sistematis dan yang dituduh adalah warga.” Pada saat pemerintahan Kaimoeddin berakhir, PT Amboina tidak hanya berhasil membeli tunggak jati tapi juga batang jati. “Praktik di lapangan berbeda, yang dikelola tidak hanya tunggak tapi juga batang-batang jati,” kata Wakil Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara, La Ode Sadikin.

PT Amboina merupakan perusahaan yang mengelola tunggak-tunggak jati di wilayah Raha dan Kendari. Perusahaan itu dikelola oleh Arsyad dan istrinya, Rosmini.

Rosmini perempuan parobaya, sederhana, dan mencetak tulisan direktis di kartu namanya. Secara tak sengaja saya bertemu dengannya saat mengunjungi lokasi pembuatan furnitur kayu jati di Kendari. Dia mengatakan masih mengingat ketika suratkabar menulis tentang perusahaan suaminya. “Tapi kami tidak apa-apa, karena kan ada izinnya,” katanya. “Apalagi yang kami kelola kan tunggaknya, bukan batangnya.” Batangnya ke mana?

“Mereka-mereka ji yang ambil itu, ya pemerintah,” katanya lagi.


SAYA mewawancari La Ode Ghogho, pria berusia 72 tahun yang hidup di hutan lindung Kontu. Tubuhnya kecil, padat, dan matanya masih awas.

Dia ingat, selepas militerisme Jepang di Indonesia dulu, dia dan rekan-rekannya diperintahkan oleh pemerintah Belanda yang berada di Raha untuk menanam jati di wilayah Kontu, yang meliputi empat kawasan yakni Kontu, Patupatu, Lasukara, dan Lawawesa.

Tiap pekerja mendapat upah Rp 500 untuk penanaman satu hektar. Upah separuhnya jika hanya menanam jati per setengah hektar. Jati ditanam dengan jarak per empat meter. Setiap pemilik kebun juga diharuskan menanam jati.

“Uhh pu sampai kini kita belum dibayar, “ kata Ghogho.

Dia berusia 20 tahun ketika itu dan menyaksikan eksploitasi terjadi atas tunggak-tunggak yang telah berusia 10-20 tahun. Pengambilalihan jati sebenarnya telah dilakukan saat jati-jati berusia empat tahun. Ketika itu, partikelir Belanda dan maskapai Vejahoma milik Hindia Belanda menguasai perusahaan pembeli kayu jati yang berada di pusat kota. “Perusahaanya dekat tugu, dan banyak mobil VW,” jelasnya. Maksudnya adalah mobil bermerek Volkswagon.

Ghogho melihat perebutan jati sejak kecil hingga masa tuanya. Dia sendiri tak punya lahan tapi memiliki 10 batang pohon jati. Perebutan itu terjadi turun-temurun, dari era maskapai partikelir Belanda tahun 1901-1904 hingga tahun 1967 ketika pemerintah Indonesia mengambil alih kewenangan pengelolaan dan mengeluarkan banyak peraturan terkait tentang pengelolaan, penebangan, pengumpulan, serta pembagian posisi keuangan dari eksploitasi jati.

Tahun 1986, ketika kewenangan pengelolaan sudah dipegang provinsi, Badan Otorita dilibatkan untuk mengelola kayu jati dari Muna ini. Tahun 1989, Perum Hutan Daerah (Perhutanda) dibentuk. Tugasnya menggantikan Badan Otorita. Tahun 1993, surat keputusan gubernur kembali keluar. Kali ini menegaskan peran Perhutanda untuk mengeksploitasi dan memasarkan kayu jati.

Pada tahun-tahun ini, pemerintah provinsi tak hanya diuntungkan oleh eksploitasi kayu jati, tapi juga hasil lelang dari kayu jati temuan dan sitaan. Kayu sitaan diperoleh dari hasil pembalakan liar dan penebangnya diketahui identitasnya. Kayu inilah yang akan dilelang. Uang hasil lelang masuk kas negara.

Sedangkan kayu temuan merupakan hasil pembalakan liar yang tidak diketahui siapa penebangnya karena sudah kabur dan menghilangkan jejak. Kayu ini kemudian diangkut ke tempat-tempat pengumpulan kayu (TPK) dan selanjutnya dijual oleh Perhutanda. Cara penjualan, ada yang dilelang dan ada yang dijual di bawah tangan. Cara yang terakhir itu merupakan penjualan langsung kepada kilang-kilang dan industri kayu jati yang beroperasi di Sulawesi Tenggara.

Tahun 2000-an keluar lagi peraturan, tiap pemilik kayu yang ingin menjual kayu harus memiliki Izin Pengelolaan Kayu Tanam Milik (IPKTM) yang ditandai dengan keluarnya tandatangan pejabat setingkat bupati atau wakil bupati. Beredar isu, tidak semua pemilik jati yang mengelola jati warisan mampu mengurus surat ini. Pertama birokrasi yang panjang. Pengajuan IPKTM harus melalui meja Dinas Kehutanan, pemerintah daerah Muna, panitia anggaran, kejaksaan, dan kepolisian. Diisukan, tiap meja biasanya meminta tip pengurusan.

Kesulitan pemilik kayu jati ini dilihat sebagai peluang oleh mereka yang punya hubungan dekat dengan pejabat. Mereka muncul sebagai “penghubung” pengurusan IPKTM. Bayarannya ditentukan seberapa banyak kayu yang akan dijual.

Tiap penghubung memperoleh Rp 100 ribu per kubik. Warga biasanya menjual hingga 20 kubik dengan harga beragam, Rp 400 ribu-600 ribu per kubik ke calo, dan dari calo menjadi Rp 1,7 juta hingga Rp 2 jutaan per kubik.

Tahun 2004-2005, pemilik IPKTM berjumlah 18 orang. Mereka memegang izin pengolahan di wilayah 1.524.245 hektar. Kata Ridwan, dirinya memang mendengar isu-isu itu, “tapi belum ada yang melaporkan”

Ketika Ridwan menjabat, dia mengambil peran penting dengan menggunakan Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah untuk mengambil alih pengelolaan kayu jati. Dia juga “memangkas” peraturan pembagian hasil 60 : 40 persen yang dibuat oleh pemerintah provinsi.

Persoalan ini menimbulkan polemik panjang antara Ridwan dan pemerintah provinsi. Pada tahun-tahun berikutnya, berbagai surat keputusan keluar, baik dari menteri keuangan, menteri kehutanan, jaksa agung, dan Kapolri. Intinya, mengatur lelang kayu temuan, sitaan, dan rampasan. Tidak ada yang bisa memastikan berapa uang yang masuk ke kas daerah.

Di luar dari eksploitasi tersebut, jati Muna juga diserang dengan pencurian kayu tanpa identitas. Kayu tertebang begitu saja, di hutan lindung ataupun di hutan produksi. Kayu temuan itu lalu diangkut ke kantor kejaksaan, pengadilan, atau kantor kehutanan. Bertumpuk, menunggu lelang. Tak ada pencuri yang bisa ketangkap. “Saya tak bisa cegah pencuri-pencuri itu,” kata La Ode Kardini, kepala Dinas Kehutanan Muna.


LA ODE Kardini lulusan sarjana ekonomi Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra). Dia pernah jadi camat di Kecamatan Tongkuno, suatu wilayah yang berjarak 50 kilometer dari ibukota kabupaten. Ini adalah wilayah yang menyumbang hampir 100 persen suara untuk Ridwan saat pemilihan bupati secara langsung. Kardini masuk dalam tim sukses Ridwan. Beberapa saat setelah Ridwan dilantik, Kardini jadi pejabat nomor satu di Dinas Kehutanan Muna.

Ironisnya, selama menjabat jadi camat Tongkuna, hutan jati Tongkuno malah habis. Kardini mengatakan pusing dengan pencurian hasil hutan, terutama jati. “Ini negara 'marcos'.. manre ongkoso (makan ongkos),” katanya. ”Lalu pemerintah provinsi itu, enak saja mereka minta pembagian hasil lelang, apa jasa merekakah? ”

Menurutnya, masalah yang ditimbulkan oleh habisnya jati-jati di Muna sangat banyak dan dijadikan masalah politis oleh sekelompok orang. Terlebih lagi, aparat keamanan tidak menunjukkan sikap jelas terhadap pelaku pencurian jati.

”Hari ini kami tangkap pelaku, bawa ke polisi, besok lepas. Kalau begini tiap hari, saya bisa stres,” katanya.

Dia mengatakan, kalau saja aparat keamanan benar-benar kompak mengatasi pembalakan liar, maka tak satu pun penjarah kayu bisa lolos. “Begini saja, kalau mau bantu perbaiki semua hutan ini, terutama jati, ya mari berperan sesuai tugas masing-masing. Jangan dibawa-bawa ke persoalan politik,” katanya. Kardini jengkel setelah dituding SWAMI sebagai “kepala dinas perusak hutan.”

Kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) –sejak MARA (Majelis Amanat Rakyat), SWAMI, hingga Jaringan Advokasi Jati Sulawesi Tenggara– menunjukkan adanya pemasukan dalam jumlah besar ke kas daerah pemerintah kabupaten Muna yang disebut rekening titipan, terhitung sejak 2002. Lembaga ini memperoleh data-data tersebut dari dokumen risalah lelang tahun 2002 dan 2003. Data ini juga diperoleh dari laporan pertanggungjawaban bupati Ridwan 2003.

Nilai uang yang laporkan Ridwan dalam laporan pertanggungjawaban itulah yang dipersoalkan kalangan LSM. Menurut mereka, laporan pertanggungjawaban itu sangat tidak masuk akal. Seharusnya dana yang diterima lebih besar berdasarkan kalkulasi harga dasar kayu jati dan volume kayu yang dilelang. Total selisih yang diperoleh dari dana hasil lelang kayu jati tersebut sebesar Rp 3,5 trilyun.

Selain dana lelang, pemerintah daerah Muna juga memperoleh keuntungan dari “uang letak”. Ini sejenis pungutan biaya yang dilakukan dalam tiap pelaksanaan lelang. Peraturan pembayaran uang letak tersebut bahkan diatur dalam surat keputusan bupati tentang penetapan harga dasar kayu dan biaya pengganti lelang kayu jati barang temuan dan atau hasil operasi gabungan tim pengaman hutan Muna.

Pada lelang-lelang tersebut, laporan pertanggungjawaban bupati hanya menunjuk angka Rp 767,92 juta. Ada dana sebesar Rp 775,37 juta yang dicurigai tidak dilaporkan oleh Ridwan.

Dana reboisasi lelang kayu jati juga tidak masuk dalam laporan pertanggungjawaban Ridwan. Besarnya Rp 1,67 trilyun, termasuk uang biaya pengganti lelang kayu jati Rp 4,10 milyar dan Iuran Hasil Hutan (IHH) sebesar Rp 537,23 milyar. Total dari dana hasil lelang, uang letak, dana reboisasi, uang biaya pengganti, dan dana provisi sumber daya hutan sebesar Rp 10,61 trilyun.

Saat Jaringan Advokasi Jati melaporkan kasus penyelewengan dana-dana ini, penegak hukum di Kendari dengan sigap melakukan penyidikan. Hasilnya, Ridwan tetap lenggang kangkung. Namun mantan kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muna, Arief Aty Malefu, ketua panitia lelang, Simon Mahuri, dan bendahara lelang, La Ode Kudu, ketika itu dikenai hukuman penjara masing-masing 7-8 tahun. Ketiga nama ini mengatakan, “Hanya menjalankan keputusan dari pemerintah” –yang dimaksud adalah Ridwan.

“Ini yang aneh, padahal amar putusan hakim menyatakan perlu menghadirkan Ridwan untuk didengar kesaksiannya,” kata Hidayatullah, koordinasi Jaringan Advokasi Jati Sulawesi Tenggara.

La Kusa, sahabat sekaligus staf Ridwan yang menjabat kepala Hubungan Masyarakat kantor pemerintahan Muna, membela Ridwan. Dia mengatakan, Ridwan tak bisa dijadikan tersangka ataupun dinyatakan terlibat karena bukti-bukti tak mengarah ke Ridwan.

“Mereka tak bisa membuktikan saya bersalah. Badan Pemeriksa Keuangan saja tidak memperoleh bukti apapun dari tuduhan itu,” kata Ridwan. Menurutnya, tak ada satu pun kebijakan yang dia keluarkan merugikan daerah ini.

“Kalau misalnya eksploitasi kayu itu dikait-kaitkan dengan kebijakan saya, wah kebijakan yang mana?” tanyanya.

Kata Ridwan, bukan salah dia kalau pencurian tetap berlangsung di depan hidung banyak orang. Tugasnya sudah cukup. Dia telah mengeluarkan uang Rp 300 juta setahun untuk mengamankan hutan di Muna. Hasilnya? Tetap saja pencurian semakin banyak. Masak pohon sebesar tiga rentang tangan orang dewasa bisa rebah tanpa ketahuan?

“Jangan tanyakan ke saya! Pertanyaannya adalah apakah saya hanya mengurusi kayu jati? Lalu apa tugas aparat keamanan itu?” Ridwan sengit kepada saya dalam wawancara per telepon.

Persoalannya, mengapa lelang kayu curian tetap dilaksanakan?

La Ode Kardini, kepala Dinas Kehutanan, menjawab pertanyaan ini: “Lalu harus diapakan? Dibiarkan tergeletak begitu saja kayu-kayunya?”


ISMET Effendi, pria parobaya mantan ketua PDIP tahun 1991-1993 di Sulawesi Tenggara. Wajahnya kalem. Bapaknya, Idrus Effendi, adalah wakil gubernur pertama di Sulawesi Selatan-Tenggara.

Saya menemui Ismet di Tampo, di rumahnya yang kecil dan asri. Dia hidup sederhana dan hampir saban hari menerima warga yang datang mengadu. Ketika wawancara berlangsung, sekitar 20 warga sedang berkumpul. Mereka mengatakan telah memasuki hutan produksi dan berkebun di sana.

Ismet disegani tokoh politik dan dijadikan tokoh masyarakat di Muna. Pada tahun 1999, Ridwan datang menemui Ismet. Ridwan mengatakan, surat keputusannya menjadi bupati telah turun. “Mohon petunjuk, Pak,” kata Ridwan.

Di tahun pertama setelah Ridwan jadi bupati, hubungan keduanya cukup baik. Memasuki tahun selanjutnya, Ismet merasa Ridwan sudah melenceng. “Banyak peraturan yang aneh,” katanya. Peraturan aneh yang dimaksud Ismet antara lain berbagai kebijakan Ridwan yang menempatkan rekan-rekannya di posisi-posisi strategis, padahal mereka tidak paham tentang pekerjaannya. “Lihat saja, Dinas Kehutanan dipegang oleh orang nonkehutanan, jadinya begini.”

Pada tahun-tahun selanjutnya, Ismet yang dianggap “bapak-abang” oleh Ridwan mulai memprotes keras IPKTM yang dikeluarkan pemerintah dan legislatif. “Ini kan aneh, pemerintah dan anggota dewan legalkan kayu temuan,” ujarnya.

IPKTM itu, menurut Ismet, seperti menyulut lahirnya perusak-perusak jati. “Ada orang yang sengaja dibayar untuk menebang pohon. Lalu mereka pura-pura meninggalkan pohon itu dan selanjutnya disebut kayu temuan.” Katanya, dengan cara ini, warga bisa jadi memikul tuduhan perambah atau penebang.

Kata Ismet, dirinya pernah mendesak polisi, kejaksaan, anggota parlemen maupun pejabat di Muna untuk mengusut tuntas habisnya kayu-kayu jati di Muna, tapi tak ada hasil. “Capek juga.”

Dampak yang paling dashyat dari habisnya jati-jati itu adalah lahan kosong dan tekanan ekonomi. Perlawanan rakyat bukan tak mungkin akan kembali merebak, seperti pernah terjadi di wilayah Kontu pada 5 Desember 2005, yang berlangsung selama tujuh hari itu.

Kontu diperebutkan oleh pemerintah dan warga petani yang jumlahnya 1.130 keluarga. Versi pemerintah, kawasan ini merupakan kawasan hutan lindung, versi warga lahan ini merupakan tanah ulayat. Pertikaian di kawasan itu menyebabkan jatuhnya 30 korban dari kedua pihak. ■

Jakarta ©2005 - 2006

ali said...
saya adalah pemuda asli pulau muna yang kini telah berusia 22 tahun. kini melajutkan sekolah ke jenjang perkuliahaan di jogja. begitu banyak cerita rakyat yang sangat mengagungkan pulau ini sampai di gelar dengan wite muna wite barakati (tanah muna tanah penuh berkah). salah satu produk unggulan dan menjadi kebanggaan pulau ini hanyalah jati. menurut cerita bahwa jati yang ada sekarang merupakan jati yang di tanam oleh nenel moyang orang muna dengan penuh siksaan alias kerja paksa oleh para penjajah. ibarat maling kundang, anak durhaka. muna tidak memiliki potensial asset selain jati tapi justru memanfaatkan jati hanya untuk kepentingan golongan. sedari kecil saya masih sempat bermain di tengah hutan kontu untuk berburu burung dengan ketapel. pohon begitu rindang, hijau, asri dan sejuk. ketika pulang saat mengunjungi orang tua dan kebetulan libur lebaran pada oktober 2007, udara berbalik arah sebesar 360 derajat. suhunya sangat panas dan menyengat kulit. dulunyaasri, hutan itu kini menjadi terang, tandus dan tentunya panas. hutan kok panas ? dari dulu sampai sekarang tidak ada kebijakan yang pasti dari daerah untuk melindungi hutan di muna. semua orang di sibukan oleh prestise, kebanggan sebagai orang nomor wahid sehingga tidak heran banyak orang di pulau kecil ini berlomba menjadi politisi. siapa yang paling keras teriakan semakin banyak juga dapat bagian... jika hal ini terus terjadi maka muna menjadi salah satu penyumbang kehancuran lingkungan yang akan meningkatkan pemanasan global. dengan adanya pemanasan global maka es di kutub utara dan selatan akan mencair dengan lambat lain namun pasti akan menyebabkan kenaikan air laut. maka perlahan-lahan muna akan tenggelam, hal ini tidak lepas dari ulah manusianya sendiri. pemimpin yang baik bagaikan gembala yang membawa gembalaannya ke padang hijau dan menjaganya dariterkaman binatang buas, menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. bukannya sebaliknya membawa "gembalaan" ke ladang hijau (jati) untuk kesejahteraan keluarga dan kelompok, teman-teman sejawatnya...


BY TI2

Menteri Kehutanan Tak Serius Selamatkan Hutan Indonesia

WALHI 08/04/10, Jakarta - Untuk mempertegas komitmen Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono  dalam memberantas mafia kehutanan dan penegakkan hukum di semua lini.  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agar segera menangkap, memeriksa dan mengadili para pelaku tindak kejahatan kehutanan.

Beberapa waktu yang lalu WALHI dan beberapa Organisasi Non Pemerintah telah melaporkan 9 kasus kejahatan kehutanan kepada KPK, namun sampai saat ini penyelidikan tentang kasus-kasus tersebut terkesan jalan ditempat, tidak ada kemajuan yang berarti dlm penuntasan kasus-kasus tersebut.  WALHI percaya bahwa KPK, Kepolisian dan Kejaksaan masih merupakan institusi penegak hukum yang bisa bekerja efektif dalam penuntasan kasus-kasus tersebut.  Untuk itu kami mendesak Aparat Penegak Hukum di negara ini sesegera mungkin mengambil tindakan dalam mengamankan negara dari para pelaku kejahatan kehutanan yang sudah sistematik dan telah merugikan negara triliunan rupiah. Sebagai langkah awal Satgas Mafia Hukum bisa melakukan analisis terhadap SP3 terhadap kasus illegal logging 14 perusahaan di Riau dan sesegera mungkin menahan MS Kaban dan Gubernur Riau, Rusli Zainal karena terindikasi terlibat dalam kasus korupsi kehutanan.

WALHI juga menyayangkan pernyataan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di media Tempo Interaktif tanggal 06 April 2010 yang membiarkan hutan-hutan produksi untuk di konversi menjadi perkebunan kelapa sawit, sebagaimana kutipan berikut :

Suruh saja NGO-NGO itu menemui saya." Menurutnya, sah-sah saja jika perluasan area perkebunan sawit itu dilakukan di hutan produksi. "Hutan produksi itu memang untuk ditebang, kecuali area-area konservasi seperti hutan lindung memang tidak boleh ditebang," tuturnya.

Pernyataan tersebut seakan-akan melegalkan berbagai praktek illegal konversi yang telah terjadi dibanyak tempat di Indonesia.

WALHI menilai bahwa semangat Presiden Republik Indonesia tidak didukung oleh kinerja dan kemauan kuat dari aparatur pemerintah lainnya, untuk itu kembali kami tegaskan agar seluruh aparatur negara sesegera mungkin mengungkap kasus-kasus kejahatan kehutanan dan menghukum mereka yang terlibat tanpa pandang bulu.


BY TI2

Aturan Kehutanan Tumpang Tindih

Lahan Terlantar Disita Negara
JAKARTA– Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah merencanakan akan segera mengambil alih lahan terlantar untuk kepentingan negara. Rencana pemerintah itu akan diwujudkan dengan menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang bisa dijadikan pijakan hukum untuk mengambil alih lahan terlantar yang diperkirakan mencapai tujuh juta hektar. "PP Lahan Terlantar sudah hampir jadi, itu akan diambil oleh negara melalui BPN," kata Zulkifli Hasan disela-sela acara launching reformasi pelayanan perizinan di Gedung Manggala Wanabakti, Senayan, Jakarta, Senin (1/2), kemarin.
Menurut Zulkifli, pengambilalihan lahan terlantar itu akan diserahkan kepada masyarakat untuk dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai lahan pertanian. "Sungguh tidak adil, petani kita hanya memiliki lahan sekitar 0,5 persen. Sementara hampir tujuh juta lahan terlantar, yang dimiliki orang tapi tidak dimanfaatkan dan didayagunakan,” katanya.
Zulkifli menambahkan, jika lahan-lahan terlantar itu bisa digunakan, maka Indonesia tidak akan mengimpor gula. Padahal, kata dia, untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri sebesar 3 juta ton per tahunnya, Indonesia hanya membutuhkan 500 ribu hektar lahan tebu.

TUMPANG TINDIH
Pada bagian lain, menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan mengakui tidak saja status lahan di daerah yang tumpang tindih, tetapi regulasi yang mengatur kehutanan juga tumpang tindih. "Saat ini aturan masih saling tumpang tindih," kata Zulkifli pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Dewan Kehutanan Nasional (DKN) di Menara Peninsula Hotel, Jakarta, Senin (1/2), kemarin.
Tumpang tindih regulasi yang dimaksud Zulkifli ada Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) antara Penggunaan Kawasan Hutan dan PP Alih Fungsi Kawasan Hutan.
Menurut Zulkifli, pertentangan regulasi itu sudah berlangsung selama sembilan tahun dan hingga saat ini belum terselesaikan. "Tidak selesai sembilan tahun. Pertentangannya seperti pertanyaan duluan mana antara ayam atau telur," kata Zulkifli sembari menyatakan pertentangan regulasi juga terjadi pada UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan sehingga menimbulkan masalah.
Sehubungan dengan itu, Zulkifli berharap pertentangan RPP soal alih fungsi kawasan hutan dan dan penggunaan kawasan hutan segera berakhir dengan ditandatanganinya oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. "Semoga dalam satu atau dua minggu kedepan pertentangannya segera selesai," harapnya.
(jpnn)



BY TI2