Pengaruh AS Di Balik UU Migas kita

Posted by Diposting oleh QUANTUM INFESTA On 17.58

Berikut adalah dokumen USAID (United States Agency for International Development, Lembaga Pemerintah AS) tentang "Penguatan Pengaturan Bidang Energi" di Indonesia yang menunjukkan campur tangan pemerintah AS mengenai sektor energi Indonesia.

Sekitar 90% migas Indonesia "dikelola" oleh perusahaan Multi National Company (MNC) seperti Exxon Mobil, Chevron, Halliburtons, Unocal, yang mayoritas berasal dari AS. Dari "kerjasama tersebut" MNC dari AS mendapat keuntungan yang sangat besar melebihi dari kontrak bisnis yang wajar. Sebagai contoh jika ongkos pompa minyak (tidak termasuk pengilangan dan distribusi ke SPBU) yang wajar hanya sekitar US$ 4/barrel (Rp 231/liter), maka MNC mengeruk keuntungan hingga US$ 50/barrel atau lebih dari 12 kali lipat. Jika dikalikan dengan 365 juta barrel/tahun maka keuntungan lebih MNC tersebut adalah Rp 154,5 trilyun.

Sementara di dokumen CIA tentang Indonesia disebut bahwa sektor listrik di Indonesia masih "regulated". Tarifnya masih "diatur" oleh pemerintah Indonesia, sehingga harganya terjangkau oleh mayoritas rakyat Indonesia yang masih menengah ke bawah. Hal ini jelas tidak menguntungkan bagi para "investor" AS yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Untuk itu harus dideregulasi. "Subsidi" harus dicabut sehingga harganya mengikuti harga pasar atau yang sekarang disebut "Harga Keekonomian".

Untuk itu pemerintah AS lewat USAID mengucurkan jutaan dollar yang dikucurkan kepada kaki tangan mereka agar kebijakan mereka bisa berjalan di Indonesia, yaitu deregulasi, pengurangan subsidi (penaikan harga), dan reformasi bidang energi. Untuk itu USAID jadi "Donatur Utama" agar usaha tersebut berhasil. Untuk tahun 2001 dan 2002 saja mereka menganggarkan masing-masing US$ 4 juta (Rp 37,2 milyar) agar berhasil.
Berikut cuplikan dari dokumen USAID yang berjudul "Energy Sector Governance Strengthened":

By minimizing the role of government as a regulator, reducing subsidies, and promoting private sector involvement, a reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue. USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform, which helps leverage larger multilateral loans.
USAID membantu pemerintah Indonesia agar Parlemen, Ormas/LSM, Media, dan Universitas "dilibatkan" sehingga "Penghapusan Subsidi" dan "Penentuan Harga" tidak menimbulkan "jeritan" masyarakat terlalu besar. Bahkan Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, menyarankan subsidi dicabut secara bertahap setiap bulan sehingga tidak terlalu kelihatan (meski efeknya tetap terasa oleh warga). Bappenas menyarankan harga minyak dinaikkan sebesar 2% setiap bulan selama setahun (24%) sehingga sama dengan harga pasar. Meski mungkin para demonstran tidak mengetahui, tapi ini tetap akan memukul kantong para supir angkutan umum dan nelayan.

the Government of Indonesia, with USAID assistance, ensured that national and local parliaments, civil society organizations, media, and universities were involved in the decision. As a result, there was minimal public outcry. USAID also supported this process by providing policy analysis for energy pricing and subsidy removal.
USAID bekerjasama langsung dengan pejabat Indonesia yang berwenang merevisi draft UU tentang Listrik dan merancang struktur peraturan:

USAID advisors work directly with Government of Indonesia officials responsible for implementing power sector reform, revising draft electricity legislation and redesigning regulatory structures.
Hebat bukan? Betapa baiknya pemerintah AS "membantu" merevisi dan merancang UU energi dan listrik kita….

USAID "membantu" membuat RUU Minyak dan Gas yang dikirim ke DPR bulan Oktober 2000. Seorang ekonom menyatakan bahwa RUU tersebut dibuat oleh pemerintah AS. Komisi DPR tinggal memberi stempel dan tanda tangan saja:

USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000.
Di tahun 2001 USAID mengucurkan US$ 850.000 (Rp 7,8 Milyar) ke LSM-LSM dan Universitas-Universitas untuk kampanye masalah energi seperti "Penghapusan Subsidi Energi":

In FY 2001, USAID plans to provide $850,000 DA to support NGOs and universities in developing programs for raising awareness and supporting involvement of local government and the public of energy sector issues, including removal of energy subsidies
Dengan kucuran dana sebesar itu tak heran jika ada oknum Lembaga Peneliti satu Universitas Negeri terkenal menyatakan jika harga BBM dinaikkan jumlah rakyat miskin akan turun….

USAID bekerjasama dengan ADB dan Bank Dunia dalam "mereformasi" bidang Energi Indonesia. Dengan hutang US$ 20 juta (hanya sekitar Rp 186 milyar), penasehat USAID berperan sebagai manajemen proyek dan perencanaan. ADB dan USAID bekerjasama membuat rancangan UU Migas Indonesia tahun 2000. Melengkapi usaha USAID, Bank Dunia melakukan "Studi Komprehensif" bidang Migas dan kebijakan tarif serta "bantuan" finansial dan restrukturisasi PLN.

Other Donor Programs: USAID works closely with the Asian Development Bank (ADB) and the World Bank on energy-sector reform. USAID assistance is leveraging a $20 million ADB power sector-restructuring loan, with USAID advisors playing project management and planning roles. The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring
Yang harus kita sadari adalah bahwa setiap pinjaman dari IMF, Bank Dunia, ADB (yang merupakan alat AS dalam menguasai ekonomi dunia) mempunyai syarat bahwa negara peminjam harus melaksanakan Agenda Neoliberalisme seperti "Privatisasi", Deregulasi, Pencabutan Subsidi/Kenaikan tarif (mis: pencabutan "Subsidi" BBM agar harga mengikuti harga pasar/harga keekonomian), perdagangan bebas, dan sebagainya (Tabb, William K. "Globalization." Microsoft® Encarta® 2006). Dengan menaruh putra/putri Indonesia yang jadi mantan Direktur dari Bank Dunia dan IMF di kementrian bidang Ekonomi, Institusi Globalisasi tersebut dengan bebas dapat menjalankan program Neoliberalisme di Indonesia.

Penjualan BBM di Indonesia sekitar Rp 418 trilyun per tahun sementara listrik PLN sekitar Rp 200 trilyun per tahun. Total sekitar Rp 618 trilyun (belum termasuk batubara). Itu baru di harga bensin Rp 6.000/liter. Jika mengikuti harga "Pasar" atau "Keekonomian" yang sekitar Rp 10.000/liter nilainya naik jadi Rp 1.018 Trilyun!

Indonesia dengan jumlah penduduk nomor 4 terbesar di dunia jelas merupakan "pasar" yang menarik bagi AS. Setelah menguasai sekitar 90% di sektor hulu Migas, adakah dengan program Privatisasi dan Kenaikan Tarif, AS ingin menguasai sektor Hilir dan juga bidang Listrik? Adakah ini merupakan "Penjajahan Ekonomi" oleh AS terhadap Indonesia?

Belanda yang merupakan sekutu dekat AS bertindak tegas menangkap agen-agen CIA yang berusaha memata-matai Belanda, merekrut kaki tangan AS sehingga kebijakan Belanda tidak dapat dipengaruhi AS.

Bagaimana dengan Indonesia? Lembaga-lembaga AS (baik pemerintah mau pun swasta) dapat dengan bebas memberi dana kepada Individu, Lembaga Pemerintah (Polri, TNI, dsb), dan LSM-LSM Indonesia tanpa proses audit/kontrol dari masyarakat/negara. Adakah Mereka dan LSM-LSM ini akhirnya akan jadi agen asing yang bekerja untuk kepentingan asing ketimbang kepentingan rakyat Indonesia? Dengan proyek NAMRU-2, pejabat militer AS bebas keluar masuk Indonesia tanpa izin khusus.

Mudah-mudahan putra-putri Indonesia mampu melakukan yang terbaik untuk rakyat Indonesia. Bukan untuk kepentingan asing.



BY TI2