Gusur Rakyat Demi Paru-paru Dunia

Posted by Diposting oleh QUANTUM INFESTA On 16.08

Nasib malang masih memihak warga Rejang Leboh, Bengkulu. Hari itu, seperti biasa, mereka tak punya harapan. Cita-cita. Maklum, sekitar 50.000 jiwa warga tempat itu telah kehilangan haknya untuk ikut mengelola sumberdaya alam setelah pemerintah melakukan tata batas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan hutan lindung di daerahnya. Praktis , sejak itu, mereka tak bisa lagi bebas keluar masuk TNKS untuk mencari nafkah bagi kehidupan sehari-harinya. Sebab, ada larangan buat mereka untuk masuk ke wilayah paru-paru dunia itu. 


Diakui, seperti taman nasional lainnya, wilayah TNKS adalah milik dunia. Kerusakan terhadapnya berarti citra buruk bagi negeri ini, sehingga penjagaan terhadap kelestarian TNKS dari tangan-tangan jahil mutlak dilakukan. Karena itu, tak mengherankan bila pemerintah mengambil tindakan ekstra ketat untuk melindungi tempat yang disebut-sebut sebagi paru-paru dunia itu.
Namun sayang, tindakan pengamanan terhadap beberapa tanaman nasional oleh pemerintah terkadang terlalu berlebihan. Demi alasan konservasi, kelestarian lingkungan, pemerintah rela memaksa rakyat yang sejak dulu tinggal di tempat tersebut untuk pindah tempat. Akibatnya, ribuan manusia yang hidupnya tergantung pada hutan tak menentu lagi nasibnya. 

Hal inilah yang terjadi di TNKS, menurut Fatrolazi, ketua komisi B DPRD Rejang Lebong, seperti dikutip harian bengkulu jaya, mengatakan pematokan tata batas TNKS dan hutan lindung telah memasung hak-hak warga Rejang Lebong yang hidup di sekitar kawasan TNKS. Padahal, ada ribuan warga yang menggantungkan hidupnya dari TNKS dan hutan lindung. 

Sejak itu, lanjut Fatrolazi, akses warga ke kawasan TNKS tertutup sudah. Warga dilarang masuk kawasan TNKS apapun alasannya. Padahal, dulu sebelum kawasan itu dipatok sebagai TNKS, warga dapat bebas masuk hutan untuk mengambil keperluan sehari-hari dari kekayaan alam yang tersimpan di kawasan TNKS. Tapi sekarang, mereka harus berhadapan dengan bedil-bedil aparat militer dan ancaman masuk penjara. Sebab, tinteng-tinteng militer yang berpatroli setiap saat di sekitar kawasan TNKS siap mengejar, menangkap lalu memasukkan mereka ke penjara bila kedapatan masuk kawasan TNKS. Tidak hanya itu tuduhan sebagai perambah hutan harus pula ditangung. 

Lain halnya dengan para pengusaha berkantong tebal. Bagi mereka, apapun ativitas di kawasan TNKS sah-sah saja. Mau jadi pengusaha burung walet atau maling kayu (ilegal) monggo. Sebab, kekuatan hukum tidak akan pernah menyentuhnya. Kalaupun nanti ada yang tertangkap, mereka hanya para krece yang berstatus pekerja. Sedangkan si boss aman-aman saja. Toh, bagi si boss hilangnya pekerja dapat diganti dengan pekerja baru untuk melanjutkan usahanya.
***
Warga Rejang Lebong tidak sendirian, ada banyak rakyat di tempat lain bernasib serupa. Kasus hampir sama juga terjadi di seantero jagat negeri ini. Bahkan kondisinya ada yang sudah mulai gawat. Tak heran jika ada yang bilang ini sih sudah biasa. 

Pencaplokan akses-akses rakyat terhadap sumberdaya alam oleh negara memang sudah bermunculan sejak pemerintah orde baru. Dimulai ketika Orde Baru memilih kebijakan pembangunan dengan pertumbuhan ekonominya sebagai jagoannya. Model pembangunan yang dibangun pada saat itu tak lain adalah hubungan kroni. Siapa yang dekat dengan kekuasaan, merekalah yang berhak menikmati kue pembangunan. 

Begitu pula pengelolaan sumberdaya hutan, hanya dimonopoli oleh para elit kekuasaan. Dari sinilah praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang lebih memihak para pemodal berduit dimulai.
Dirangkulnya para pemodal dalam praktek-praktek pengusaan sumberdaya dengan mengesampingkan kepentingan-kepentingan rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak lain adalah imbas dari kebijakan pembangunan yang menitik beratkan pada industrialisasi terutama yang terjadi pada negara-negara berkembang seperti indonesia. Anehnya, pengelolaan sumberdaya alam yang hanya dimonopoli oleh elit penguasa dan kaum pemodal itu berkedok mengatasnamakan rakyat.
Sementara itu, hukum yang seharusnya memberikan rasa keadilan pun seakan sudah mati. Tak ada perangkat hukum yang mencerminkan pembelaan kepada masyarakat lokal. Yang ada hanyalah keberpihakan pada kaum pemodal. 

Hubungan mesra antara penguasa yang cenderung kapitalis dengan para pemodal berduit sudah menjadi lingkaran setan yang sulit dijamah. Maklum, keduanya punya hubungan simbiosis yang kokoh dan saling melengkapi. Yang satu punya kekuasaan yang satu lagi punya modal. Klop sudah bisnis mereka untuk menguasai seluruh aset rakyat. 

Beberapa kasus menunjukkan mereka bahkan punya hubugan dekat dengan militer. Lewat tangan-tangan militerlah drama perampasan dan penguasaan aset-aset rakyat secara tidak manusiawi berakhir dengan sukses berat. Lewat tangan militer pula raklat dilarang memasuki wilayah yang dikelola negara.
Jargon yang sering mereka pakai biasanya adalah atas nama pembangunan rakyat harus rela berkorban. Entah apa artinya berkorban dalam benak penguasa. Yang jelas perampasan hak-hak rakyat atas nama pembangunan tak memberikan kontribusi apapun bagi rakyat. Malah yang terjadi sebaliknya, rakyat tambah susah. 

Atas nama pembangunan pula, kelestarian lingkungan, demi paru-paru dunia seperti penetapan TNKS, pemerintah kemudian melarang segala bentuk aktifitas di kawasan hutan dan mengusir masyarakat yang sudah bertahun-tahun bermukim disana. Itupun kelihatan dibuat-buat. Sebab, banyak pengalaman yang menunjukan, justru pengelolaan sumberdaya alam oleh rakyat berhasil lebih baik daripada yang dikelola pemerintah. 
****
Taman nasional Kerinci Seblat adalah milik dunia, sebagai paru-paru dunia, memang tidak bisa dibantah. Namun, menurut Fatrolazi, justru karena itulah mempertanyakan apa yang sudah diberikan TNKS untuk kelangsungan hidup rakyat di sekitar TNKS masih perlu diajukan. Sebab, bagaimanapun TNKS harus mampu memberikan sumbangan ekonomi alternatif. Jika tidak, jangan salahkan rakyat yang terpaksa membuka kawasan lindung tersebut. Sebab mereka juga butuh makan, rakyat butuh lahan pertanian sebagai sumber kehidupan mereka. 

Sayang, tidak banyak yang bisa mengerti dengan kondisi seperti ini. Yang terjadi justru sengketa sumberdaya alam antara negara dengan rakyatnya makin tajam saja. Apa yang diramalkan marx, ada benarnya, semakin tergugatnya kepentingan-kepentingan rakyat atas sumber-sumber langka seperti sumberdaya alam, maka semakin besar kekuatan rakyat untuk bergabung melawannya. 

Dan tampaknya, seperti yang terjadi di TNKS, warga Rejang Lebong mulai berani melawan. Belakangan ada keinginan untuk meninjau ulang keputusan tentang tata batas TNKS dan hutan lindung tersebut. Keinginan ini bukan hanya dari warga Rejang Lebong, bahkan suara-suara mengugat mulai mendapat perhatian serius dari para anggota dewan. 

Peninjauan ulang keputusan yang menyengsarakan rakyat itu terasa melegakan. Sebab, di sana, ada ribuan manusia yang butuh makan, sebab ada kebutuhan dunia yang harus diselamatkan. Karena itu pula, kita mesti mulai memikirkan, bagaimana menjaga paru-paru dunia tanpa harus menggusur rakyat.
Anda bisa?

16 Perambah TWA Ditangkap Merambah Sejak 2000

SINDANG DATARAN – Setelah beberapa waktu lalu, 84 orang ditahan karena merambah TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat), kemarin (11/5) kembali 16 orang diamankan polisi karena melakukan perambahan hutan TWA (Taman Wisata Alam) Bukit Kaba. Tepatnya di wilayah Register 4/50 Desa 4 Suku Menanti Kecamatan Sindang Dataran.

Sebenarnya masih ada ratusan perambah lainnya di sana, namun saat disergap Polhut KSDA, Polhut TNKS dan Dishutbun RL yang berkoordinasi dengan Reskrim Polres RL, hanya 16 orang yang berhasil diamankan. Sedangkan ratusan orang sisanya tidak ada di kebun saat disergap.
Kapolres RL, AKBP. Joni Triharto, SH melalui Wakapolres Kompol Iis Kristian, S.IK melalui Kasat Reskrim, AKP. Syarif Hidayat, S.IK membenarkan penangkapan ini. “Kalau soal merambah hutan terlarang itu orang Polhut tahu persis. Hanya saja saat koordinasi Polhut mengatakan jika kawasan yang dijadikan kebun oleh perambah ini adalah wilayah terlarang,” ujar Syarif.
Guna proses penyidikan selanjutnya, 16 warga yang mayoritas berasal dari Bengkulu Selatan dan Kaur ini ditahan di Mapolres RL. Sementara itu, Kasubdin Keamanan dan Penyuluhan Dishutbun RL, Amir Hamzah Idji menyatakan 16 warganya dipastikan melakukan perambahan hutan terlarang. “Untuk diketahui, dari batas wilayah TWA ini kebun mereka berada sekitar 3 kilometer dari batas. Makanya sudah pasti mereka ini melakukan perambahan hutan terlarang,” ujar Amir.
Amir sendiri mengakui jika proses perambahan ini berlangsung sejak tahun 2000. Namun sudah sejak lama Dishutbun yang bekerjasama dengan Polhut melakukan sosialisasi jika kawasan tersebut dilarang. “Tapi tetap saja mereka acuh dengan sosialisasi tersebut.
Memang mereka ini masuk ke hutan itu tidak seizin dari Kades setempat. Karena sudah disosialisasi masih saja melakukan perambahan, hari ini (kemarin, Red) kita lakukan penangkapan dengan berkoordinasi dengan KSDA, TNKS, serta juga Polres,” papar Amir.
Ditanya mengenai ratusan perambah lainnya yang belum berhasil diamankan kemarin, Amir berjanji akan menjemput mereka. Hanya saja, kata Amir, pihak Lembaga Pemasyarakatan harus menyiapkan ruangan yang banyak untuk perambah ini.
Para perambah hutan TWA ini akan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Tepatnya diatur dalam Pasal 50 ayat 3 dengan acaman kurungan penjara maksimal 10 tahun dan denda sebesar Rp 5 miliar.
Perambah Mengaku Tidak Tahu
Sementara itu, dua orang perambah yang ditangkap Evandri (26) dan Tarman (49) mengaku tidak tahu jika kebun itu adalah wilayah terlarang. Dijelaskan Tarman, sebelumnya kebun yang mereka miliki saat ini adalah milik PT. Kepahiang Indah.“PT. Kepahiang Indah berdiri tahun 1986 dan tutup tahun 1998. Setelah PT tutup lahan itu kami kelola untuk pertanian,” jelas Tarman.
Diakuinya, kebun-kebun ini ditanami kopi. Selain itu mereka juga menanam cabai. Saat ini kopi yang mereka tanam sudah mulai panen. Namun belum sempat mereka menikmati hasil kebunnya, jeruji tahanan sudah menunggu mereka.“Sebelum ini tidak ada pemberitahuan. Kalau saja ada pemberitahuan pasti tidak akan terjadi seperti ini. Selama ini kami berkebun disana aman-aman saja. Tapi hari ini (kemarin, Red) tanpa kami tahu sebelumnya, kami dibawa ke kantor polisi,” tambah Tarman.
Ditambahkan Evandri yang mengaku dari Bengkulu Selatan ini, selama ini pihak Polhut sudah lama mengetahui keberadaan mereka. “Dulu kan Polhut sering mengawasi kalau ada orang nebang pohon. Makanya mereka tahu keberadaan kami. Tapi saat itu mereka tidak mengatakan kalau kebun kami itu dilarang,” ungkap Evandri.(pie


Bupati Tidak Tolerir Perambah TNKS


CURUP – Bupati RL, H. Suherman, MM mengatakan, tidak ada toleransi bagi masyarakat yang merambah hutan TNKS (Taman Nasional Kerinci Sebelat). Alasannya, dalam undang-undang sudah dijelaskan, jika hutan TNKS termasuk hutan lindung yang tidak boleh dirambah.“Itu kan hutan lindung. Sudah tahu hutan lindung, tapi masih saja digarap, ya… tanggung sendiri risikonya.
Silakan penegak hukum meneruskan prosesnya,” ujar Bupati Suherman kepada wartawan kemarin (10/4).
Para perambah yang tertangkap kepada RB beberapa hari lalu mengatakan jika mereka tidak tahu bahwa lahan yang digarapnya tersebut adalah hutan TNKS yang dilindungi negara. Menanggapi keterangan warga ini, bupati menyerahkan sepenuhnya kepada penyelidik.
“Kalau mereka mengaku tidak tahu, pasti aparat penegak hukum lebih tahu apakah mereka benar-benar tidak tahu, atau bagaimana,” jelasnya.
Bupati juga mengatakan jika beberapa waktu lalu dia pernah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar hutan TKNS tersebut dialihfungsikan. Maksudnya, jika hutan TNKS itu alihstatus, maka masyarakat sekitar bisa memanfaatkannya.
Namun usaha ini gagal. Pasalnya, pemerintah pusat tidak mengabulkan permintaan bupati ini. “Bukannya kita tidak memikirkan masyarakat, tapi sepertinya sulit sekali untuk merubah statusnya agar masyarakat bisa memanfaatkannya. Jadi bukan saya tidak memikirkan nasib rakyat,” ungkapnya.
Walaupun hutan TNKS ini dilindungi negara, namun sejauh ini pemerintah Rejang Lebong belum memperoleh dana kompensasi. Ditanya mengenai kompensasi ini, bupati hanya menjawab jika dia tidak mau mengatur pemerintah pusat.
Dalam pemberitaan RB beberapa waktu lalu, wilayah hutan TNKS ini berada di Desa Bandung Marga Kecamatan Bermani Ulu. Namun setelah diteliti, wilayah ini masuk ke dalam Kecamatan Bermani Ulu Raya.
Camat Bermani Ulu Drs. Arman Kusnandar yang menyampaikan masalah ini. “Dulunya memang masuk Kecamatan Bermani Ulu. Tapi setelah pemekaran, Desa Bandung Marga itu masuk dalam Kecamatan Bermani Ulu Raya,” ujar Arman.(pie)
BY TI2