Ridwan BAE, Bupati yang Tampil Beda

Posted by Diposting oleh QUANTUM INFESTA On 16.53



UNTUK ukuran seorang bupati, Ridwan BAE terhitung nyeleneh. Penampilannya tidak seperti bupati-bupati atau pejabat pada umumnya. Ia jarang terlihat mengenakan pakaian atau uniform yang menunjukkan dirinya seorang pejabat.

Soal pakaiannya yang tidak bergaya pejabat, ia berkilah bahwa seorang pejabat dulu perlu dikawal rakyat dalam perjalanan dinasnya sehingga uniform-nya harus beda, untuk membedakannya dengan yang lainnya.

‘’Tapi, itu dulu, karena belum ada informasi yang terbuka seperti sekarang ini. Sekarang, dengan maraknya media cetak dan elektronik, rakyat dengan mudah mengenali pemimpinnya,’’ tuturnya.

Dengan penampilannya yang tak jauh beda dengan rakyatnya itu, Ridwan merasa lebih dekat dengan rakyatnya, begitupun sebaliknya.

‘’Mereka tidak pernah ragu dengan kita. Meskipun bau ikan, bau lumpur, mereka begitu bebasnya memeluk kita, tak merasa canggung,’’ terang Ridwan.

Lelaki kelahiran Raha, Muna, 1 Desember 1957 yang memimpin daerahnya selama dua periode (2000-2005 dan 2005-2010) ini juga tidak suka mengenakan arloji dan cincin. Alasannya sederhana, terlalu ribet.

‘’Karena kalau mau mandi harus dilepas dulu, dan setelah mandi baru dipakai lagi. Terlalu ribet. Saya suka yang praktis-praktis saja,’’ kilahnya.

Terhadap sesuatu barang yang disukainya, Bupati Muna ini juga tidak berhitung soal harganya. Biar mahal, asal sesuai dengan seleranya, dan tidak banyak orang yang memilikinya, ia akan berusaha membelinya, karena ia ingin berbeda dari yang lain. Meskipun untuk itu ia harus rela diomeli istrinya.

‘’Saya tidak suka memiliki barang yang banyak dimiliki orang lain. Saya ingin berbeda dari yang lain,’’ ucapnya.

Soal mobil mewah merk Volvo, Ridwan menegaskan bahwa mobil tersebut dibelinya karena ia memang sangat menyukainya. Mobil itu bukan untuk pamer, melainkan untuk dinikmatinya.

‘’Sekali lagi, kalaupun saya memiliki mobil yang menurut orang mewah, bukannya saya sombong atau mau pamer, tapi karena saya suka aja dengan mobil itu,’’ tandasnya.

Saat kecil, bahkan sampai sekarang, Ridwan tidak punya cita-cita. Yang dilakukannya hanyalah menggembleng dirinya, melatih diri untuk mempersiapkan dirinya dalam kesiapan apapun. Ia menempa dirinya dengan aktif di berbagai organisasi.

Ia terpilih menjadi Bupati Muna, bahkan sampai dua periode, semata-mata hasil perjuangannya sendiri, buah kerja kerasnya selama ini, plus garis tangan. Bukan karena nama besar orang tua atau tokoh tertentu. Maklum, selain berasal dari kalangan masyarakat biasa, Ridwan pun sejak kecil ikut kakaknya karena orang tuanya sudah meninggal.

‘’Saya tidak punya cita-cita, apalagi cita-cita menjadi bupati. Tapi saya berbuat terus, melatih diri terus apa yang bisa saya lakukan. Dan, ketika ada kesempatan jadi bupati, ada peluang, saya ikut maju, karena saya punya potensi untuk itu,’’ tutur bapak yang dikaruniai lima putra dan satu putri dari perkawinannya dengan Wa Ode Sitti Nurlaila ini.

Motivasinya ikut bertarung menjadi orang nomor satu di Kabupaten Muna, tiada lain adalah mengabdi untuk kepentingan rakyat, untuk mengangkat harkat masyarakat Muna. Berasal dari latar belakang pengusaha, ia yakin banyak inovasinya yang pada akhirnya bisa memberikan kontribusi buat peningkatan kehidupan masyarakat luas.

‘’Jika saya berhasil membawa kepemimpinan yang baik di Kabupaten Muna dan dirasakan baik pula oleh masyarakat luas, maka itu akan menjadi modal awal bagi anak-anak saya ke depan. Itu motivasi saya untuk memimpin Muna pada waktu itu,’’ ungkapnya.

Ridwan yang pernah tercatat sebagai anggota resimen mahasiswa Unhas periode 1978, tidak pernah berpikir bagaimana menjadi sesuatu, misalnya menjadi gubernur. Karena untuk mendapatkan posisi itu, ia harus tega menghabisi semua lawan-lawan politiknya. Hal-hal seperti itulah yang tidak disukainya, karena tidak sesuai dengan sifat pribadinya.

Dalam memimpin, Ridwan lebih menghargai karyawan yang proaktif, berinisiatif dan kreatif, ketimbang yang hormat dan tunduk kepadanya namun tidak becus menyelesaikan pekerjaannya.

‘’Jangan tunduk kepada saya, tapi tunduklah kepada kemampuan kerjamu, kepada tugas. Bagi saya, kalau tugasmu sudah kelar, itulah saatnya kamu tunduk pada saya. Tapi kalau kamu datang dengan sikap menunduk-nunduk, tidak bermanfaat, tidak akan mempengaruhi kebijaksanaan saya mempertahankanmu sebagai kepala dinas,’’ tegasnya.

Memimpin di era reformasi yang dilanda euforia di berbagai aspek, termasuk politik, dirasakan Ridwan tantangannya sangat besar. Kesulitan yang dihadapinya, pertama, adalah perubahan-perubahan peraturan yang dirasakan begitu berat. Kedua, pemahaman masyarakat tentang demokrasi, dan yang ketiga adalah kesulitan masyarakat elit dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat.

Tapi dengan modal kesabaran serta memahami posisinya sebagai pemimpin dan pengayom rakyat, sekalipun dicacimaki ia harus sabar mengaluri perjalanan keinginan mereka. Dengan satu harapan, pada titik tertentu mereka akan sampai pada suatu kejenuhan. Kejenuhan dalam artian bahwa rupanya cara-cara yang mereka lakukan itu tidak seharusnya mereka lakukan.

Menurut Ridwan, kesulitannya hanya dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat saja, karena di era euforia yang meliputi berbagai aspek ini, termasuk euforia politik, sangat menyulitkan. Soalnya, kita berpendapat positif untuk kepentingan rakyat bisa menjadi negatif bagi policy-policy kita, di tengah-tengah masyarakat yang dengan gampangnya dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang berpikiran sempit.

‘’Itu kesulitan yang kita hadapi. Tapi dengan sebuah kesabaran kita jalani, dan alhamdulillah perubahan-perubahan itu sudah mulai nampak,’’ jelasnya.

Jika suatu program diyakininya akan bermanfaat bagi masyarakat, Ridwan tak merasa pusing terhadap mereka yang tidak setuju dengan program tersebut. Ia biarkan mereka yang bersikap berbeda, ia biarkan mereka berpikir.

Hasilnya, sejumlah program yang awalnya mendapat tantangan yang begitu besar, ternyata setelah terwujud justru mereka yang memanfaatkan dengan penuh kebahagiaan dan kebanggaan.

‘’Itulah yang membahagiakan kami. Makanya walaupun mereka tadinya berpendapat berbeda dengan kami, saya tidak pernah marah pada mereka. Waktu yang akan menentukan mana yang benar dan mana yang salah,’’ ucapnya bernada bijak. (Nining)



BY TI2