Penghancuran Hutan Jati Muna

Posted by Diposting oleh QUANTUM INFESTA On 13.37

From: "walhisultra" <edwalhisultra@...>
 
POTRET KETIDAKADILAN NEGARA TERHADAP MASYARAKAT MUNA PADA
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM HUTAN JATI
DIKABUPATEN MUNA
Sekilas singkat terhadap kondisi sosial muna pada
pengerukan pengelolaan hutan Jati Muna

Jati Muna merupakan kawasan Hutan Rakyat diperkirakan ada sejak tahun 1530 M, Bahkan masih ada 1 pohon jati Alam tertuah di dunia (endemik) yang di perkirakan telah berumur 450 tahun, yang masih tumbuh di cagar alam Napabalano seluas 9,2Ha. Areal Jati Muna (alam+tanaman) ada 50,9% dari total 4,888 km2 luas wilayah Kabupaten Muna. Secara turun temurun dikelola pemerintah local swapraja/swatantra Tingkat II Muna.kebijakan pengelolaan jati Muna di mulai 1901-1904; Masuknya Maskapai Partikelir belanda, thn 1905-1907; Maskapai Vejahoma, Tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda. Nanti 1950. pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan. Tahun 1968-2000, pengelolaan diambil alih pemerintah Sultra. Tahun 2000 Bupati Muna Ridwan BAE, dengan Perda No. 17/2000, mendirikan Dishut Muna. areal jati 9000Ha. (sumber:Data statistik dishut Tk.I/Sultra/2000. Estimasi WALHI Sultra; ambillah angka tertinggi tahun 2004 tersisa 500Ha, dikalikan dengan harga lelang lokal (Rp.2.000.000/m3 dikalikan 250m3/Ha), Berati masyarakat muna harusnya sekarang mempunyai PAD sebanyak Rp. 4.250 Miliar. Nah pertanyaannya kemana ini? Adakah masyarakat muna yang kaya dari jatinya? Yang dibanggakan adalah hanya PAD Muna yang umumnya berasal dari hasil lelang jati temuan. Pertanyaan public, biaya eksploitasi tersedia di APBD per tahun dibawah kemana, kenapa dana hasil lelang yang dibagi-bagi? Berdasarkan penelusuran cerita masyarakat Muna oleh WALHI Sultra & SWAMI (1999-2003), Jati Muna ada 2 jenis, yaitu Jati Alam yang tumbuh sejak tahun 1530-an dan jati tanaman ditanam (budidaya) sejak 1911M. Pada masa itu, Pohon Jati Alam ditanam pada tempat tertentu yang dijadikan batas administrasi/wilayah kekuasaan kerajaan (teritorial). Sedangkan Jati Budidaya adalah hutan jati yang ditanam masyarakat lokal (Muna) mengenalnya dengan istilah  ;KULIDAWA; (kayu jawa) yang ditanam dilahan-lahan rakyat dengan menggunakan sistem Kultur Jaringan (budidaya), atau dikenal dengan istilah KULITIRI. Bibitnya dipungut dari biji/buah jati alam yang ada di Muna.

Sepengetahuan masyarakat, sejak Kabupaten Muna menjadi daerah otonom tahun 1963, belum ada areal atau kawasan yang secara jelas hutan jati ditanam pihak pemerintah. Tapi, dari cerita-cerita masyarakat, pemkab muna hanya melakukan ;PENJARANGAN ; pohon jati yang terdapat di kawasan-kawasan yang didapatkan tumbuh hutan jati dilahan-lahan rakyat yang ada. Karena, masyarakat banyak peladang bepindah, buah/bijih jati jatuh akan tumbuh sendiri setelah terjadi pembakaran pada lahan tersebut (sulapi). PENJARANGAN sendiri berbeda dengan REBOISASI apalagi istilah PENANAMAN. Penjarangan adalah bentuk ekploitasi hutan jati menggunakan dana APBD yang tersedia di Pemerintah Kabupaten Muna. Sedangkan kayu hasil pohon/kayu penjarangan itu sendiri setelah ditebang di kumpulkan ke TPK kemudian dilelang secara resmi dan hasil keuangannya disetorkan pada kas negara.
Pertanyaannya, dimana dana hasil penjarangan tersebut selama ini dan dimana kawasan yang masuk dalam anggaran reboisasi itu? Lalu bagaimana pula soal kompensasi (ganti untung) akan hak-hak masyarakat muna terhadap tegakan jati diatas lahan rakyat tersebut? Generasi tidak pernah mau tau itu. Berdasarkan tatanan adat di Kabupaten Muna, sistem penguasaan lahan (tenurial) masyarakat muna diatur berdasarkan peraturan Dewan SARA yang berfungsi mengesahkan hukum normatif (formal/resmi) pemerintahan kerajaan. Lalu, bagaimana pengaturan pemkab terhadap KASASI, OME, KATANDAKI, dan KAINDEA, dll. Kenapa, masyarakat muna kehilangan hak untuk mengelola hutan jati, sekalipun untuk bangunan rumah? Bahkan tanah ladang seperti, OME, KAINDEA, KATANDAKI, DAN KASASI, yang karena miskin dan tidak memiliki keluarga penguasa, Lahan yang sudah tidak memiliki sasksi-saksi hidup, sekalipun dibuktikan dengan kuburan dan tanaman jangka panjang ditumbuhi pohon jati, serta merta diambil alih dan diklaim menjadi lahan negara (penguasa)? Bahkan secara ekstrem bila ditemukan masyarakat menebang/mengambil memanfaatkan 1 (satu) batang jati, pun untuk kebutuhan rumah, selalu dituduh perambah, kemudian
ditahan dan penjarakan? Di satu sisi, jika ada kelompok masyarakat memiliki kroni penguasa, begitu mudah mengeksploitasi, menjual, dan mendapatkan dan bahkan membagi-bagi dana hasil jati. Yang diperoleh dari istilah Kayu Temuan IPKTM, MOU, SAKO, Lelang, IPHH, dll, seterusnya itu. Ada sekitar 40% masyarakat Muna yang menyambung hidup keluarganya, bekerja kuli bangunan, tukang becak, pembantu dan penjaga tokoh, penjual ikan keliling, numpang dilahan-lahan orang berpindah ke Kendari. Serta mayoritas angka 15 ribu TKI ilegal Sultra yang harus mencari hidup adalah masyarakat muna. Dimana perhatian Negara? Toh punya rumah permanen karena usaha sendiri dan bukan karena fasilitas negara.

Pola Kekuasan di Muna cenderung sangat otoriter. Akibatnya, pelayan negara (PNS) patuh karena takut diintimidasi dan dipindahkan tugaskan secara tiba-tiba. Ini komplikasi sosial yang berkelanjutan. Potretnya, oknum pengusaha luar muna, muspida dan keluarga pejabatlah yang memiliki akses atas pekerjaan, peluang untuk hidup termasuk pemanfaatan hutan jati. Kongkalingkong pengambilan basis hak material ini, sangat sulit dikontrol public. Masyarakat lokal begitu trauma dan ketakutan jika berhadapan pejabat pemerintah. Apalagi mau melakukan kontrol terhadap Pemerintahan. Masyarakat lokal, hanya dapat mengeluh bisik-bisik, namun tidak berani melakukan kritikan secara langsung. Karena, jika didengar dan diketahui masyarakat melakukan protes, maka resikonya adalah kekerasan fisik, ancaman, intimidasi secara berkelanjutan. Di sisi lain pihak-pihak tertentu melihat ini sebagai potensi dan peluang melakukan melakukan proses pembodohan sosial. Karena ruang kerja yang diciptakan pemkab muna selama ini begitu kecil, alternatif paling mudah adalah negosiasi, jadi pemborong, dan melebur menjadi elemen sekunder, jadi penetrasi kekuasaan dengan harapan punya peluang jadi bagian dari pemerintahan (PNS). Pihak-pihak yang memiliki kesempatan dan peluang tersebut terlihat begitu enjoy dari apa yang didapatkan dengan negosiasi kekuasaan. Artinya, dekat dan melebur menjadi bagian dari kekuasaan di Muna adalah akan terbuka peluang untuk jaminan hidup, jika tidak resikonya adalah “selamatkan diri masing-masing;. Karena itu, Saat WALHI Sultra melakukan gerakan penyadaran sosial atas keadilan dalam pengelolaan SDA dengan melaporkan dan mempublikasikan dokumen yang didapatkan atas dugaan korupsi dan kejahatan kehutanan dan lingkungan terorganisir terhadap Bupati Muna Ridwan BAE dan Muspida, selaku pejabat public, banyak kroni, keluarga, PNS, Muspida, serta anggota KPU Muna, oknum Dosen dan Mahasiswa (secara umum dari Unoversitas Haluoleo)...... selaku pencari kerja dan mencari peluang hidup melakukan kontra terhadap gerakan keadilan sosial yang dibangun WALHI Sultra dan elemen prodem lainnya. Ini sungguh fenomenal, munculnya ledakan ribuan dukungan PNS terhadap Bupati Muna. Dimana para algojo Konflik ini berawal dari pada kecemburuan sosial yang terbuka dan berkembang menjadi dilema politik dan strata sosial yang tidak seimbang dan tidak adil. Akibatnya masyarakat Muna sebagian besar merantau ke berbagai daerah, Kendari, Sulsel, Maluku, Papua, serta tersebar se-nusantara, bahkan paling banyak menjadi tenaga kerja ilegal Malaysia.


WASPADAI KEBIJAKAN
PENGELOLAAH HUTAN JATI MUNA


Pemerintah daerah Kabupaten Muna tetap saja menggenjot pemasukan terbesar dari eksploitasi sumber daya hutan (jati). Ini terlihat dari besaran pendapatan dari sector kehutanan dalam RAPBD tahun 2005 sebesar Rp 12 miliar. Tahun 2004 pendapatan dari sekotr kehutanan hanya sekitar 8, 725 miliar. Padahal kita tahu sendiri, kondisi hutan jati di Kabupaten Muna sedah semakin kritis, semua kawasan hutan jati yang selama ini di klaim sebagai kawsan hutan negara, nyaris tidak lagi menyisakan tegakan kayu jati. Sepertinya kayu jati masih saja menjadi andalan pendapatan daerah. Jika itu dilakukan maka tanaman jati akan segera hilang dari pulau Muna.

Dalam RAPBD tahun 2005, terdapat IPKTM sebanyak 7 - 9 buah dan anehnya seluruh IPKTM yang ada itu belum di transparansikan kepada public termasuk kepada DPRD. Hasil monitoring SWAMI terhadap keberadaan IPKTM di Kabupaten Muna selama kurun waktu 2001 - 2004, terdapat berbagai penyimpangan dalam prakteknya. Estimasi SWAMI bahwa hanya sekitar 10 persen IPKTM (dari 69 buah IPKTM) yang berjalan normal atau tanpa penyimpangan, selebihnya IPKTM hanya dijadikan legitimasi untuk membabat hutan jati dengan berbagai modus. Indikasi ini menguatkan satu kesimpulan bahwa salah satu penyumbang terbesar hancurnya hutan jati di Kabupaten Muna adalah IPKTM. Yang diuntungakn dari IPKTM itu selain para mafia kayu jati yang disokong kekuasan dan birokrasi, juga perusahaan-perusahaan asing (luar daerah) yang beredar di Kabupaten Muna.

Dalam RAPBD tahun 2005 juga terdapat target pendapatan dari pemanfaatan tunggak kayu jati sebesar 7 miliar. Satu hal yang perlu di garis bawahi adalah pemanfaatan tunggak. Kita kembali di ingatkan dengan Instruksi Bupati No. 11 tahun 2001 yang menjadi alas hukum munculnya MoU No. 211/2649/DKM antara Dinas Kehutanan Kabupaten Muna dengan PT. Usaha Loka Malang tentang pengolahan/pemanfaatan tunggak kayu jati pada areal kawasan hutan produksi. Ketika tegakan jati sudah tidak mencukupi stok produksi perusahaan-perusahaan kayu setempat, kini Pemkab mulai membuat kebijakan baru untuk mengeksploitasi tunggak yang tersisa dari praktek ilegal logging selama ini.

Kebijakan ini akan menjadi ancaman baru dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Muna. selain tidak transparan, juga akan beresiko besar terhadap tegakan pemusnahan tegakan hutan jati yang masih tersisa beberapa pohon. Nilai ekonominya pengelolaan dan pemanfaatan tunggak kayu jati terhadap rakyat yang memiliki segudang tunggak kayu jati di kebun-kebun mereka juga belum jelas, karena kebijakan ini kemungkinan akan di kelola oleh kontraktor dari luar daerah yang bekerja sama dengan perusahaan yang selama ini sudah ada di Kabupaten Muna. Alas hukumnya jelas akan menggunakan Perda No. 4 tahun 2001 tentang retribusi IPKTM.

Kebijakan IPKTM jilid satu sudah jelas telah menyimpang dari substasninya, yang kemudian menjadi alas hukum untuk membabat tegakan kayu jati muna. Pengelolaan dan pemanfaatan tunggak kayu jati muna merupakan kebijakan IPKTM jilid dua untuk melakukan land clearing terhadap potensi kayu jati yang masih tersisa. Kita tahu persis karakter dari kebijakan itu, Pemda sangat lihai dalam membuat kebijakan tapi juga sangat lemah dalam pengawasannya. Apalagi tidak ada jaminan dari Pemda bahwa kebijakan IPKTM jilid dua itu tidak menyimpang dari substasninya. Kasus demi kasus dari kebijakan IPKTM jilid satu sudah cukup membuka mata masyarakat Muna bahwa kebijakan itu penuh dengan penyimpangan, rekayasa dan mafia yang luar bisa besar.

Yang pasti rakyat akan di imin-imingi dengan besaran nilai jual tunggak jati yang tidak rasional dan tidak menguntungkan itu. Walaupun kita belum mengetahui berapa nilai jual yang di tetapkan pemerintah daerah untuk setiap tunggak jati, tapi sudah dapat dipastikan tidak akan menguntungkan. Paling-paling tidak lebih dari 1 juta per tunggak, atau bisa jadi dibawah Rp 500 ribu rupiah. Sementara
nilai jual tunggak jati di pasar luar daerah maupun pasar internasional cukup mahal antara 2 - 3 juta per tunggak. Yang untung besar adalah perusahaan, rakyat hanya dapat seper delapannya dari harga sesungguhnya.

Jika benar-benar Pemda ingin mengsejahterakan rakyatnya, mengapa sistem pengelolaan dan sistem pemanfaatannya tidak di serahkan kepada masyarakat sendiri dengan menghidupakan pengrajin-pengrajin lokal. Sistem ini akan lebih menguntungkan rakyat ketimbang menyerahkan pengelolaan dan pemanfaatannya kepada pihak kontraktor atau perusahaan yang ada.



Apa kata WaGub tentang Hutan Jati Muna:

Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, H M Saleh Lasata singgung soal Jati Muna. Ia mengatakan jati Muna sudah habis. 
"Jati Muna ini sudah habis. Yang kita lihat hanya di pinggir jalan. Sementara yang didalam sudah gundul. Kita tidak tau siapa yang habiskan," ujar Saleh Lasata saat pertemuan dengan Lima Anggota DPR Aceh, di ruang rapat khusus kantor gubernur Sultra Rabu kemarin (4/2).
Saleh menuturkan ketika dia masih menjadi Bupati Muna, Jati Muna masih banyak. Masih bisa lihat hutan yang rindang.
“Dulu, jalan ke mana saja di Muna, sangat rindang. Kita masih bisa lihat kayu jati tumbuh dimana-mana. Sekarang ? Yaaa… itu tadi habis. Kita tidak tau siapa yang habisi,” kenang Wagub.Pemandangan yang bisa dilihat sekarang kata Wagub hanya tunggukan kayu jati. Ini pun sudah habis diambil, diolah dan dijadikan bahan gembol. Yang paling banyak adalah tanaman ubi kayu dan jagung. Sepertinya, hutan jati berubah fungsi dari hutan menjadi kebun......??????

==========================
Yayasan SWAMI
Jl. Paelangkuta No 54 Raha - Sulawesi Tenggara
Tlp. (0403) 21511

 
BY TI2

2 komentar

  1. salmin Said,

    Saya orang muna, KASASI itu tanah orang tuaku,kakek saya yang menanam jati di sana, dengan darah dan keringat, 1 rupiah pun saya tidak menikmati hasilnya, di sanan ada pagar batu memaanjang sepanjang mata memandang, kakekku yang membangun untuk pagar kebunnya, sekarang orang lain mengambil tidak eminta izin sama yang punya, saya tidak berharap uang dari darah kakekku, tetapi saya berharap anak cucu saya juga tahu bahwa itulah dari saalah asal usul mereka, Jati di PENSALAI, tanah di kampung lama,

    Saya tidak akan memberi belas kasihan kalau sampai makam kakek dan nenekku hancur di daerah itu.

    Orang Muna

    Posted on 7 Februari 2012 pukul 08.47

     
  2. terimakasih artikelnya,,, sangat membantu dalam pembuatan semi jurnal saya

    Posted on 30 April 2014 pukul 04.12